PELATIHAN, KURSUS, DAN KONSULTASI

LEMBAGA STUDI UMAT NURUL IMAN (eL-SUNI), YOGYAKARTA
"Mantapkan Iman dengan Ilmu Pengetahuan"

Alamat: Jl. Besi-jangkang, KM 3,5, Belakang Puskesmas Ngemplak 2, Banglen, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, di Samping Penjahit Sri Rejeki (a.n. Muhammad Rais Ramli, M.S.I., M.S.I. Telp./WA/Telegram: 0815-7885-6972; PIN BB: D02A5AB9; E-Mail: Mrais17@yahoo.com; YM: Mrais17).

PELATIHAN & KURSUS
* PELATIHAN TATA CARA SHOLAT LENGKAP
(Thaharoh [Ugensi Thoharoh, Macam-macam Najis dan Cara Membersihkannya, Zat/benda yang digunakan untuk Thoharoh, Adab Buang hajat, Sunnah-sunnah Fitroh, Wudhu, Mengusap Khuf, Mandi, Tayammum, Fiqh Haid, Nifas, dan Istihadhoh] Gerakan Sholat, Bacaan Sholat, Makna & Rahasia Kandungan Sholat).

* PELATIHAN PERAWATAN JENAZAH LENGKAP
(Merawat Orang Sakit, Sakaratul Maut, Memandikan, Mengkafani, Men-sholatkan, Menguburkan, Takziah, Siksa Kubur, dan Amaliyah yang bermanfaat bagi jenazah yang disepakati ulama).

* PELATIHAN RETORIKA DAKWAH (TEKNIK PIDATO/ CERAMAH & KHUTBAH).
(Fiqh Dakwah, Fiqh Khutbah Jumat, dan Retorika).

* KURSUS BAHASA ARAB
(Nahwu, Shorof, Tashrif, Kajian Bahasa Arab al-Quran [KaBAr-Qu] Muhadatsah Fushah [Percakapan Bahasa Arab Standar], dan Terjemah Arab-Indonesia)

* KURSUS TARJAMAH AL-QUR'AN PER KATA

* PELATIHAN SEHARI (ONE DAY TRAINING) METODE MUDAH MENGUASAI KOSA KATA AL-QURAN (DENGAN TARGET MENGUASAI 50% AL-QURAN).

* KURSUS ULUMUL QUR'AN
* KURSUS ULUMUL HADIS
* KURSUS USHUL FIQH
* KURSUS FIQH ZAKAT
* KURSUS FIQH PUASA
* KURSUS FIQH MU'AMALAH
* KURSUS FIQH EKONOMI ISLAM

* MENYALURKAN WAKAF KAMUS SAKU AL-QURAN UNTUK PERPUSTAKAAN PONDOK PESANTREN, MADRASAH, DAN LEMBAGA PENDIDIKAN LAINNYA YANG MEMBUTUHKAN. BAGI PARA DERMAWAN YANG INGIN MENJADI SPONSOR WAKAF KAMUS AL-QURAN, DAPAT MENGHUBUNGI PENULIS PADA CONTACT DI ATAS.

*eL-SUNI menerima infak atau sponsorship untuk Dakwah dan Bakti Sosial di Desa-desa terpencil untuk wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah. Untuk setiap Dakwah dan Bakti sosial dilakukan selama 3 hari, 2 malam. Adapun kegiatan-kegiatan dakwah dan bakti sosial di desa-desa terpencil selama 3 hari dan 2 malam tersebut adalah
= Bazar Sembako Murah
= Pembagian Pakaian Layak Pakai
= Penyuluhan Pertanian/Perkebunan (menyesuaikan kondisi desa sasaran dakwah dan bakti sosial)
= Pengajian Akbar (target minimal 300 peserta)
= Pelatihan perawatan jezanah (target 100 peserta)
= Pelatihan tatacara cara thaharah dan tatacara shalat (target 100 peserta)
= Pelatihan Metode Mudah Menguasai Kosa Kata al-Quran
= Pelatihan guru Taman Kanak-kanak al-Quran dan Taman Pendidika al-Quran (target 50 peserta)
= Lomba-lomba untuk taman kanak-kanak al-Qur'an dan Taman Pendidikan al-Quran (target 100 peserta)
= dan berbagai kegiatan-kegiatan lain sesuai usulan warga sasaran kegiatan dan usulan donatur dan sporsorship.

NB= Banyaknya kegiatan dalam sekali kegiatan dakwah dan bakti sosial disesuaikan dengan dana yang tersedia.

* Dalam melaksanakan kegiatan dakwah dan bakti sosial, eL-SUNI bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain sesuai dengan kebutuhan.

* Dana kegiatan dapat disalurkan ke nomor rekening,
0220830510, Bank BNI Syariah Cabang Yogyakarta, a.n. Muhammad Rais

KONSULTASI SKRIPSI & TESIS UNTUK SEMUA ILMU SOSIAL DAN ILMU AGAMA ISLAM

Kamis, 16 September 2010

Sikap Maha-santri Kabupaten Sleman Yogyakarta terhadap Perbankan Syariah (Tesis UIN Jogja) Bab II

BAB II
LANDASAN TEORI

A.    Perbankan Syariah
  1. Sejarah Singkat Bank Syariah di Indonesia
Sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, telah dikeluarkan ide tentang pendirian bank syariah di Indonesia. Pada tahun 1937 M, K.H. Mas Mansur, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah periode 1937 – 1944 menguraikan idenya tentang penggunaan jasa bank konvensional sebagai hal yang terpaksa dilakukan karena umat Islam belum mempunyai bank yang bebas riba. Ide tersebut dikemukakannya pada Majalah Majlis Tabligh “Siaran” pada tahun 1937 M. Artikel itu merupakan bukti tertulis tentang keinginan umat Islam akan adanya bank yang bebas dari unsur-unsur riba.[1]
Upaya intensif pendirian bank syariah sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Pada tahun tersebut, diskusi tentang bank syariah  sebagai pilar ekonomi Islam sudah mulai dilakukan.[2] Upaya pendirian bank syariah di Indonesia dapat ditelusuri jejaknya sejak tahun 1988 pada saat pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (Pakto) yang berisi liberisasi industri perbankan. Para ulama telah berusaha mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada perangkat hukum yang dapat mendasarinya kecuali bahwa perbankan boleh menetapkan bunga 0%.[3]
Setelah adanya rekomendasi dari lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, tanggal 19 – 22 Agustus 1990, yang dibahas lebih mendalam pada Munas MUI IV tanggal 22 – 25 Agustus 1990, kemudian diikuti dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang mengakomodasi perbankan dengan sistem bagi hasil, maka Bank Muamalat Indonesia merupakan bank syariah pertama yang beroperasi di Indonesia. Hal ini diikuti oleh pendirian bank-bank perkreditan rakyat syariah. Akan tetapi, kedua jenis bank tersebut belum sanggup menjangkau masyarakat bawah, sehingga didirikanlah lembaga-lembaga simpan-pinjam yang disebut Baitul Mal wa Tamwil (BMT).[4]
Pada tanggal 17 – 18 September 1990 diadakan International Workshop on Non Interest Financial Institution di Departemen Keuangan dengan menghadirkan pakar bank syariah dari luar negeri. Setelah itu, muncullah BPR Mardlatillah (BPR-M) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera” (BPR-BAS) tercatat sebagai bank syariah pertama di Indonesia.[5] Kedua bank yang mendasarkan diri pada prinsip syariah ini didirikan pada tanggal 15 Juli 1991 dan mulai beroperasi tanggal 19 Agustus 1991 di Bandung atas prakarsa ISED (Institute for Sharia Economic Development).[6]
Pada tanggal 24 Oktober 1991 berdiri BPRS Amanah Rabbaniyah dan pada tanggal 10 November 1991 berdiri BPRS Hareukat. Baru pada tanggal 1 November 1991 dibuat akte pendirian PT Bank Muamalat Indonesia di Sahid Jaya Hotel dengan Akte Notaris Yudo Paripurno, S.H. No. 1. 1 November 1991. Izin kehakiman No. C2. 2413. HT.01.01. 21 Maret 1992/ Berita Negara R.I. tanggal 28 April 1992 No. 34[7]
Pada saat penandatangan akte tersebut, terkumpul dana sebesar Rp 84 miliar. Dua hari kemudian, tepatnya hari Ahad, tanggal 3 November 1991, Tim Perbankan MUI mengadakan acara silaturahmi dengan  Presiden RI, Bapak Soeharto, di Istana Bogor. Dalam acara yang bertemakan “Silaturrahmi Bapak Soeharto dan masyarakat Jawa Barat dalam rangka saham pendirian bank syariah”, presiden memberikan dana awal yang diambil dari dana kas Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila (YABMP) sebesar Rp 3 miliar dan terkumpul modal disetor awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1 Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Setelah mendapat izin prinsip, surat Menteri Keuangan RI No. 1223/MK.013/1991, tanggal 5 November 1991, diikuti dengan Izin Usaha berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan RI No. 430/KMK:013/1992 tanggal 24 April 1992.[8]
Pada era reformasi, perkembangan bank syariah ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank konvensional untuk membuka cabang syariah atau bahkan mengkonversi diri secara total menjadi bank syariah.[9]

  1. Pengertian Bank Syariah
Kata “bank” dapat ditelusuri  dari kata banque (Prancis) dan banco (Italia) yang berarti ‘peti’ atau ‘lemari’ atau ‘bangku’. Pengertian kata ini menjelaskan dua fungsi dasar pada bank konvensional. Kata “peti” atau “lemari” menyiratkan fungsi sebagai tempat menyimpan benda-benda berharga, seperti peti emas, peti berlian, peti uang, dan lain-lain.[10]
Pada abad ke-12 kata banco di Italia merujuk pada meja, counter atau tempat usaha penukaran uang (money changer). Arti ini menyiratkan fungsi transaksi, yaitu “penukaran uang” atau dalam arti transaksi bisnis yang lebih luas yaitu “membayar barang dan jasa”.[11]
Dalam al-Qur’an, memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang apa itu bank syariah. Akan tetapi, jika yang dimaksud adalah sesuatu yang memiliki unsur-unsur seperti struktur, manajemen, fungsi, hak dan kewajiban, maka hal tersebut disebutkan dengan jelas seperti zakat, sadaqah, ganimah (rampasan perang), bai’ (jual-beli), dain (utang dagang), mal (harta), dan sebagainya yang memiliki konotasi fungsi yang dilaksanakan oleh peran tertentu dalam kegiatan ekonomi.[12]
Adapun pengertian bank syariah menurut Muhammad adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan bunga. Bank syariah, yang biasa juga disebut dengan bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan atau perbankan  yang operasional dan produknya dikembangkan berdasarkan al-Quran dan Hadis Nabi saw.. Dengan kata lain, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam.[13]
Heri Sudarsono juga mengemukakan hal senada dengan pengertian di atas, bahwa bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, usaha bank akan selalu berkaitan dengan masalah uang sebagai dagangan utamanya.[14]

  1. Tujuan Bank Syariah
Bank syariah didirikan mempunyai beberapa tujuan. Di antra tujuan tersebut adalah:
  1. penghapusan bunga dari semua transaksi keuangan dan pembaharuan semua aktivitas bank agar sesuai dengan prinsip-prinsip Islam;
  2. pencapaian distribusi pendapatan dan kekayaan yang wajar; dan,
  3. promosi pembangunan ekonomi.[15]
Warkum Sumitro mengemukakan tujuan bank syariah sebagai berikut:[16]
a.       mengarahkan kegiatan ekonomi umat untuk bermuamalat secara Islam, khususnya muamalat yang berhubungan dengan perbankan agar terhindar dari praktek-praktek riba atau jenis-jenis  usaha atau perdagangan lain yang mengandung unsur gharar (tipuan), yang jenis-jenis usaha tersebut selain dilarang dalam Islam juga telah menimbulkan dampak negatif terhadap kehidupan ekonomi rakyat;
b.      untuk menciptakan suatu keadilan di bidang ekonomi dengan jalan meratakan pendapatan melalui kegiatan investasi, agar tidak terjadi kesenjangan yang amat besar antara pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana;
c.       untuk meningkatkan kualitas hidup umat dengan jalan membuka peluang berusaha yang lebih besar terutama kelompok miskin, yang diarahkan kepada kegiatan usaha yang produktif, menuju terciptanya kemandirian usaha;
d.      untuk menanggulangi masalah kemiskinan, yang pada umumnya merupakan program utama dari negara-negara yang sedang berkembang. Upaya bank syariah dalam mengentaskan kemiskinan ini, berupa pembinaan nasabah yang lebih menonjol sifat kebersamaan dari siklus usaha yang lengkap, seperti program pembinaan pengusaha produsen, pembinaan pedagang perantara, program pembinaan konsumen, program pengembangan modal kerja dan program pengembangan usaha bersama;
e.       untuk menjaga stabilitas ekonomi dan moneter. Dengan aktivitas bank syariah, diharapkan akan mampu menghindari pemanasan ekonomi diakibatkan adanya inflasi, menghindari persaingan yang tidak sehat antara lembaga keuangan; dan,
f.       untuk menyelamatkan ketergantungan umat Islam terhadap bank konvensional.

  1. Fungsi dan Peran Bank Syariah
Fungsi dan perang bank syariah dalam pembukaan standar akuntasi oleh AAOIFI (Accounting and Auditing Organizing for Islamic  Financial Institution) adalah:[17]
a.       manajer investasi, bank syariah dapat mengelola investasi dana nasabah;
b.      investor, bank syariah dapat menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah yang dipercayakan kepadanya;
c.       penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran, bank syariah dapat melakukan kegiatan-kegiatan jasa pelayanan perbankan sebagaimana lazimnya;
d.      pelaksanaan kegiatan sosial, sebagai ciri yang melekat pada entitas keuangan syariah, bank syariah juga memiliki kewajiban untuk mengeluarkan dan mengelola (menghimpun, mengadministrasikan, mendistribusikan) zakat serta dana-dana sosial lainnya.
Muhammad Syafi’i Antonio mengemukakan fungsi bank syariah sebagai berikut:[18]
  1. manajemen investasi, bank syariah dapat melaksanakan funsi ini berdasarkan kontak mudarabah atau kontrak perwakilan;
  2. investasi, bank syariah menginvestasikan dana yang ditempatkan pada dunia usaha (baik dana modal maupun dana rekening investasi) dengan menggunakan alat-alat investasi yang konsisten dengan syariah seperti kontrak al-murabahah, al-mudarabah, bai’ as-salam, bai’ al-istisna’, al-ijarah, dan lain-lain;
  3. jasa-jasa keuangan, bank syariah dapat menawarkan berbagai jasa keuangan lainnya berdasarkan upah (fee based) dalam sebuah kontrak perwakilan atau penyewaan. Contohnya, garansi, transfer kawat, L/C, dan sebagainya;
  4. jasa sosial, konsep perbankan syariah mengharuskan bank syariah melaksanakan jasa sosial, bisa melalui dana qard (pinjaman kebajikan), zakat, atau dana sosial yang sesuai dengan ajaran Islam. Bahkan, konsep perbankan syariah juga mengharuskan bank syariah memainkan peran dalam pengembangan sumber daya insani dan menyumbang dana bagi pemeliharaan serta pengembangan lingkungan hidup.
Adapun Muhammad mengemukakan peran bank syariah sebagai berikut:[19]
a.  menjadi perekat nasionalisme baru. Artinya, bank syariah dapat menjadi fasilitator aktif bagi terbentuknya jaringan usaha ekonomi kerakyatan. Di samping itu, bank syariah perlu mencontoh keberhasilan Sarekat Dagang Islam, kemudian ditarik keberhasilannya untuk masa kini (nasionalis, demokratis, religius, ekonomis);
b. memberdayakan ekonomi umat dan beroperasi secara transparan. Artinya, pengelolaan bank syariah harus didasarkan pada visi ekonomi kerakyatan, dan upaya ini terwujud jika ada mekanisme operasi yang transparan;
c. memberikan return yang lebih baik. Artinya, investasi di bank syariah tidak memberikan janji yang pasti mengenai return (keuntungan) yang diberikan kepada investor. Oleh karena itu, bank syariah harus mampu memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional. Di samping itu, nasabah pembiayaan akan memberikan bagi hasil sesuai dengan keuntungan yang diperolehnya. Oleh karena itu, pengusaha harus bersedia memberikan keuntungan yang tinggi kepada bank syariah;
d. mendorong penurunan spekulasi di pasar keuangan. Artinya, bank syariah mendorong terjadinya transaksi produktif dari dana masyarakat. Dengan demikian, spekulasi dapat ditekan;
e. mendorong pemerataan pendapatan. Artinya, bank syariah bukan hanya mengumpulkan dana pihak ketiga, tetapi dapat mengumpulkan dana Zakat, Infaq, dan Sadaqah (ZIS). Dana ZIS dapat disalurkan melalui pembiayaan qardul hasan, sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya pemerataan ekonomi;
f.   peningkatan efisiensi mobilisasi dana. Artinya, adanya produk al-mudarabah al-muqayyadah, berarti terjadi kebebasan bank untuk melakukan investasi atas dana yang diserahkan oleh investor, maka bank syariah sebagai financial arranger, memperoleh komisi atau bagi hasil, bukan karena spread bunga;
g.   uswah hasanah implementasi moral dalam penyelenggaraan  usaha bank;
h.  salah satu sebab terjadinya krisis adalah adanya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).  

  1. Ciri-ciri Bank Syariah
Untuk mengidentifikasi sesuatu agar lebih mudah mengenalinya, maka perlu diketahui ciri-cirinya. Ciri-ciri bank syariah ini berbeda dengan bank konvensiional. Adapun ciri-ciri bank syariah adalah:[20]
a.       beban biaya yang disepakati bersama pada saat akad perjanjian, diwujudkan dalam bentuk jumlah nominal, yang besarnya tidak kaku dan dilakukan dengan kebebasan untuk tawar menawar dalam batas wajar. Beban biaya tersebut hanya dikenakan sampai batas waktu sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak;
b.      penggunaan prosentase dalam hal kewajiban untuk melakukan pembayaran selalu dihindari, karena prosentase bersifat melekat pada sisa utang meskipun batas waktu perjanjian telah berakhir;
c.       di dalam kontrak-kontrak pembiayaan proyek, bank syariah tidak menetapkan perhitungan berdasarkan keuntungan yang pasti yang ditetapkan di muka, karena pada hakekatnya, yang mengetahui tentang ruginya suatu proyek yang dibiayai bank hanyalah Allah swt. semata;
d.      pengerahan dana masyarakat dalam bentuk deposito tabungan oleh penyimpan, dianggap sebagai titipan yang diamanatkan sebagai penyertaan dana pada proyek-proyek yang dibiayai bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syariah, sehingga pada penyimpanan tidak dijanjikan imbalan yang pasti;
e.       Dewan Pengawas Syariah (DPS) bertugas mengawasi operasionalisasi bank dari sudut syariahnya. Selain itu, manajer dan pimpinan bank syariah harus menguasai dasar-dasar muamalah Islam;
f.       fungsi kelembagaan bank syariah selain menjembatani antara pihak pemilik modal dengan pihak yang membutuhkan dana, juga mempunyai fungsi khusus yaitu fungsi amanah, artinya berkewajiban menjaga dan bertanggung jawab atas keamanan dana yang disimpan dan siap sewaktu-waktu apabila dana tersebut diambil pemiliknya.

  1. Prinsip dan Produk-produk Bank Syariah
Secara umum, ada lima prinsip bank syariah yang diimplementasikan ke dalam produk-produk bank syariah. Prinsip dan produk-produk bank syariah tersebut adalah:
a. Prinsip Wadi'ah atau Titipan (Depository)
1) Pengertian        
Secara bahasa (lughah) wadi'ah berasal dari kata وَدَعَ – يَدَعُ – وَدْعًا 'meninggalkan', 'menitipkan', 'menyetorkan', 'mendepositokan', 'menaruh'.[21] Secara istilah (terminologi) wadi'ah adalah titipan murni dari suatu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan  kapan saja si penitip menghendaki.[22]
Bank Indonesia memberikan defenisi yang lebih lengkap tentang wadi'ah di atas yaitu akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dengan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta kebutuhan barang atau uang.[23]
2)  Landasan Syari'ah       
Adapun landasan syar'i dari wadi'ah adalah:[24]
a) Q.S. al-Baqarah [2]: 283,
"..., maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)...."

b) Q.S. an-Nisa' [4]: 58,
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, ...."

c) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmizi, dan ia meng-hasan-kannya, yaitu sebagai berikut:
أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ وَلاَ تَخُنْ مَنْ خَانَكَ.
"Tunaikanlah amanah kepada orang yang mempercayakannya kepadamu dan janganlah kamu mengkhianati orang yang berkhianat kepadamu."

3)  Profil Singkat tentang Wadi'ah
Wadi'ah terbagi dua jenis, pertama, wadi'ah yad al-amanah, yaitu akad penitipan barang atau uang yang pihak penerima titipan tidak diperkenankan menggunakan barang atau uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan atau kehilangan barang titipan yang bukan karena kelalaian penerima titipan. Kedua, wadi'ah yad  ad-damanah, yaitu akad penitipan barang atau uang yang pihak penerima titipan dengan atau tanpa seizin pemilik barang atau uang dapat memanfaatkan barang atau uang tersebut dan harus bertanggung jawab terhadap kehilangan atau kerusakan barang atau uang titipan.[25]
b.  Prinsip Bagi Hasil (Profit Sharing)
Salah satu perbedaan bank syariah dengan bank konvensional adalah adanya sistem bagi hasil atau pembagian laba yang dalam bank konvensional menggunakan instrumen bunga untuk menarik para nasabah menyimpan modalnya di bank.
Bank syari'ah atau ekonomi Islam pada umumnya menggunakan sistem profit sharing, karena terdapat berbagai keuntungan atau saling menguntungkan antara dua orang atau lebih yang sedang melakukan kegiatan ekonomi. Hal tersebut terlihat dalam berbagai ayat dalam al-Qur'an yang kandungannya dapat disimpulkan sebagai berikut:[26]
1) Doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam dapat menciptakan kerja produktif sehari-hari dari masyarakat.
2)  Meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan sosial.
3)  Mencegah penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak merata.
4)  Melindungi kepentingan ekonomi lemah.
5) Membangun organisasi yang berprinsip syarikat, sehingga terjadi proses yang kuat membantu yang lemah.
6) Pembagian kerja atau spesialisasi berdasarkan saling ketergantungan serta pertukaran barang dan jasa karena tidak mungkin berdiri sendiri.
      Ditinjau dari segi terminologinya, profit sharing dapat diartikan sebagai "distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan". Hal itu dapat berbentuk bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumya atau dapat berupa pembayaran pekanan atau bulanan.[27]
Prinsip bagi hasil terdiri dari empat jenis yaitu al-musyarakah, al-mudarabah, al-muzara'ah, dan al-musaqah.
a) al-Musyarakah
1)  Pengertian
Yang dimaksud dengan al-musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk melakukan usaha tertentu yang masing-masing pihak yang bekerjasama itu memberikan kontribusi modal, baik dana atau amal (expertise). Keuntungan dan kerugian dalam al-musyarakah ini ditanggung bersama sesuai kesepakatan.[28]
2)  Landasan Syari'ah
                        Adapun landasan syari'ah terhadap produk ini adalah Q.S. an-Nisa' [4]: 12 sebagai berikut:
"...maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu...."

Q.S. Sad [38]: 24, sebagai berikut:

"....Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh...."


3) Profil Singkat al-Musyarakah

Al-Musyarakah ada dua jenis, yaitu pertama, al-musyarakah pemilikan dan kedua, al-musyarakah akad. Al-Musyarakah pemilikan terjadi karena warisan, wasiat, atau kondisi lainnya yang menyebabkan terjadinya pemilikan oleh dua orang atau lebih. Adapun al-musyarakah akad terjadi dengan kesepakatan dua orang atau lebih yang setiap orang dari mereka sepakat memberikan modal al-musyarakah.[29]
Al-Musyarakah akad terbagi lagi ke dalam lima jenis yaitu pertama, syirkah al-'inan; kedua, syirkah al-mufawwadah; ketiga, syirkah al-a'mal; keempat, syirkah al-wujuh; dan kelima, syirkah al-mudarabah.[30]
Syirkah al-'inan adalah kontrak dua orang atau lebih. Setiap orang memberikan porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja. Kedua pihak berbagi keuntungan dan kerugian sesuai kesepakatan.[31]
Syirkah al-mufawwadah adalah kontrak kerjasama antara dua orang atau lebih. Setiap pihak memberikan kontribusi dana dan berpartisipasi dalam pekerjaan. Kedua pihak berbagi keuntungan dan kerugian. Jadi, syarat utama pada syirkah ini adalah kesamaan dalam hal kontribusi dana, kerja, tanggung jawab, dan beban utang.[32]
Syirkah al-A'mal adalah kerjasama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan dan berbagi keuntungan dengan pekerjaan itu. Misalnya, kerjasama dua orang arsitek untuk membuat suatu proyek atau kerjasama dua orang tukang jahit untuk menerima order pembuatan baju seragam. Syirkah ini biasa juga disebut syirkah abdan atau syirkah sana'i.[33]
Syirkah wujuh kerjasama dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis. Mereka membeli barang dari suatu perusahaan secara kredit kemudian menjualnya secara tunai. Keuntungan dan kerugian dibagi bersama berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh mitra. Jenis syirkah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasarkan pada jaminan. Syirkah ini biasa juga disebut syirkah piutang.[34] Adapun syirkah al-mudarabah dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya.
b) al- Mudarabah
1) Pengertian           
Al-Mudarabah berasal dari kata ضَرْبٌ 'memukul' atau 'berjalan'. Lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.[35]
Setelah menjelaskan secara panjang lebar tentang akar kata mudarabah, maka Muhammad kemudian mengartikan kata mudarabah secara etimologis yaitu "bergeraknya sesuatu kepada sesuatu yang lain."[36]
Adapun secara terminologis, Ivan Rahmawan A. menjelaskan al-mudarabah sebagai salah satu jenis transaksi musyarakah. Pihak yang ber-syirkah sebagai pemilik dana atau shahibul mal dan pemilik tenaga atau mudarib. Penentuan pendapatan didasarkan atas kesepakatan nisbah bagi hasil antara sahibul mal dengan mudarib.[37]
Muhammad Syafi'i Antonio menjelaskan bahwa secara teknis al-mudarabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak. Pihak pertama sebagai sahibul mal meyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudarabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal, selama kerugian itu bukan akibat kelalaian pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka sepengelola harus bertanggung jawab.[38]
Menurut Rasyad Hasan via Muhammad bahwa mudarabah merupakan "suatu akad (kontrak) yang memuat penyerahan modal khusus atau sema'nanya tertentu dalam jumlah, jenis dan karakternya (sifatnya) dari orang yang diperbolehkan mengelola harta (jaiz attashrruf) kepada orang lain yang 'aqil, mumayyiz dan bijaksana, yang ia pergunakan untuk berdagang dengan mendapatkan bagian tertentu dari keuntungannya menurut nisbah pembagiannya dalam kesepakatan."[39]
2) Landasan Syari'ah
                        Adapun landasan syari'ah tentang al-mudharabah adalah sebagai berikut:
a) Q.S. al-Muzammil [73]: 20;
b) Q.S. al-Jumu'ah [62]: 10;
c) Q.S. al-Baqarah [2]: 198;
d) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam at-Tabrani sebagai berikut:
روي ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ: كَانَ سَيِّدُنَا الْعَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَلِّبِ إِذَا دَفَعَ الْمَالَ مُضَارَبَةً اِشْتَرَطَ عَلَى صَاحِبِهِ أَنْ لاَ يَسْلُكُ بِهِ بَحْرًا وَلاَ يَنْزِلُ بِهِ وَادِيًا وَلاَ يَشْتَرِي بِهِ دَابَّةً ذَاتَ كَبِدِ رَطْبَةٍ فَإِنْ فَعَلَ ذَلِكَ ضَمَنَ فَبَلَغَ شُرْطَهُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجَازَهُ.
"Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas ra. bahwa tuan kami al-Abbas bin Abdul Mutallib, jika memberikan dana ke mitra usahanya secara mudarabah, ia mensyaratkan agar dananya tidak dibawa mengarungi lautan, menuruni lembah yang berbahaya, atau membeli ternak. Jika menyalahi peraturan tersebut, yang bersangkutan bertanggung jawab atas dana tersebut. Disampaikan syarat-syarat tersebut kepada Rasulullah saw. dan beliau membolehkannya."

e) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah No. 2280, sebagai berikut:
عَنْ صَالِحِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.
"Dari Salih bin Shuhaib ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, 'tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradah, (mudarabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual."

f) Ijma Ulama tentang bolehnya pengolahan harta anak yatim secara al-mudarabah.
3) Profil Singkat tentang al-Mudarabah        
Secara umum, al-mudarabah dibagi dua jenis yaitu pertama, al-mudarabah al-mutlaqah dan kedua, al-mudarabah al-muqayyadah. Al-Mudharabah al-mutlaqah adalah bentuk kerjasama antara pemilik modal dan pemilik usaha atau pengelola yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.[40] Dengan kata lain, pengelola mempunyai otoritas penuh untuk mengelola modal tersebut tanpa terikat oleh syarat apapun dari pihak pemilik modal.
                        Adapun al-mudarabah al-muqayyadah merupakan kebalikan dari al-mudarabah al-muqayyadah yaitu jenis al-mudarabah yang terikat dengan spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis.[41] Dengan kata lain, si pengelola terikat dengan berbagai syarat yang diajukan oleh pemilik modal.

c) al-Muzara'ah
1) Pengertian           
Al-Muzara'ah adalah kerjasama pengolahan pertanian pemilik lahan dan penggarap. Pemilik lahan menyediakan lahan pertanian kepada penggarap untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan tertentu dari hasil panen.[42]
2) Landasan Syariah
Mayoritas sahabat, tabi'in, dan para imam membolehkan al-muzara'ah dengan berdasarkan pada perbuatan Rasulullah saw. yang menyuruh penduduk Khaibar menggarap tanahnya dan mereka mendapatkan separoh dari hasil tanamannya.[43]
3) Profil Singkat tentang al-Muzara'ah
         Beberapa ketentuan dalam al-muzara'ah, yaitu: (a) jangka waktu harus ditentukan; (b) bagian yang telah disepakati harus diketahui dengan jelas terlebih dahulu; (c) benihnya berasal dari pemilik lahan; (d) tidak sah hukumnya, apabila pemilik lahan mensyaratkan benih diambil dari hasil panen; (e) menyewakan tanah yang dibayar kontan; (f) dianjurkan kepada pemilik lahan yang melebihi kebutuhannya agar memberikan kepada saudaranya tanpa sewa; dan (g) mayoritas ulama melarang menyewakan tanah dengan makanan.[44]
d). al-Musaqah
1) Pengertian
                        Al-musaqah adalah seseorang menyerahkan pohon kurma atau pohon buah lainnya kepada orang lain yang sanggup untuk menyiraminya dan mengerjakan segala kebutuhan yang berkaitan dengan kegiatan tersebut, dengan upah yang telah disepakati dari buahnya.[45]         
2) Landasan Syariah
Landasan syariah dari al-musaqah adalah perbuatan Rasulullah saw. dan para al-khulafa' ar-rasyidun. Imam al-Bukhari memberitakan melalui Ibnu Umar bahwa Nabi saw. menyuruh penduduk Khaibar menggarap lahannya dengan upah separuh dari hasil lahan tersebut.[46]
3) Profil Singkat tentang al-Musaqah
Al-Musaqah adalah bentuk yang lebih sederhana dari al-muzara'ah. Pada sistem ini, penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Oleh karena itu, si penggarap mendapat bagian dari hasil panen dengan prosentase tertentu.[47]
Beberapa ketentuan dari al-musaqah, yaitu: (a) pohon kurma atau pohon buah lainnya diberitahukan ketika akad; (b) bagian yang diberikan kepada penggarap diketahui sebelumnya; (c) penggarap diwajibkan melaksanakan seluruh pekerjaan yang berkaitan dengan pengurusan pohon korma atau pohon lainnya; (d) jika tanah yang dijadikan al-musaqah dikenakan pajak, maka si pemilik tanah yang harus membayar pajaknya; (e) al-musaqah dibolehkan hanya untuk harta pokok (tanah); (f) si penggarap boleh menyerahkan penggarapan kepada orang lain, jika ia tidak mampu menggarapnya, tetapi ia berhak mendapatkan buah yang terkait dengan akad; (g) al-musaqah batal, jika si penggarap lari sebelum pohon berbuah, tetapi jika pohon sudah berbuah, maka pemilik tanah bisa mengupah orang lain untuk mengurusnya sampai selesai, yang upah itu diambil dari bagian si penggarap; (h) jika si penggarap meninggal dunia, maka ahli warisnya berhak menunjuk orang lain untuk menggantikan tugasnya, tetapi keduanya juga bisa sepakat untuk membatalkannya.[48]
c. Prinsip Jual Beli (Sale and Purchace)
1). Ba'i al-Murabahah
a) Pengertian
Ba'i al-murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Si penjual harus memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahannya.[49]
b) Landasan Syariah
                        Landasan syariah dari ba'i al-murabahah adalah sebagai berikut:
(1) Q.S. al-Baqarah [2]: 275;
(2) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan Imam Ibnu Majah sebagai berikut
عَنْ صَالِحِ بْنِ صُهَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَلَاثٌ فِيْهِنَّ الْبَرَكَةُ الْبَيْعُ إِلَى أَجَلٍ وَالْمُقَارَضَةُ وَأَخْلَاطُ الْبُرِّ بِالشَّعِيْرِ لِلْبَيْتِ لاَ لِلْبَيْعِ.
"Dari Salih bin Suhaib ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, 'tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradah, (mudarabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual."

(3) pendapat Imam Malik yang mendasarkan pendapatnya kepada praktik penduduk Madinah, perkataan Imam Syafi'i, perkataan Marghinani (w. 593 H/ 1197 M) seorang ahli fiqh dari mazhab Hanafi, dan perkataan Imam an-Nawawi (w. 676 H/ 1277 M) seorang ahli fiqh bermazhab Syafi'i.[50]
c) Profil Singkat Ba'i al-Murabahah
Syarat-syarat ba'i al-murabahah (1) penjual memberi tahu biaya modal kepada nasabah; (2) kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan; (3) kontrak harus bebas dari riba; (4) penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atas barang sesudah pembelian; dan (5) penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.[51]
Ba'i al-murabahah terdiri atas dua jenis yaitu murabahah financing (pembiayaan murabahah) dan ba'i bitsaman ajil financing.[52]
Pembiayaan al-murabahah adalah kredit modal kerja yang dapat terus bergulir. Bila seseorang mengambil produk ini, ia hanya membayar cicilan keuntungannya setiap bulan dan baru membayar harga beli bank pada saat pelunasan, sedangkan produk pembiayaan ba'i bisaman ajil, untuk membedakan kegunaannya, diartikan sebagai kredit investasi yang cicilan keuntungan dan cicilan harga beli banknya harus dibayar setiap bulan.[53]
2) Ba'i as-Salam
a) Pengertian  
Ba'i as-salam adalah pembelian barang yang diserahkan di kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka.[54]
Syaikh al-Jazairi mendefinisikan ba'i as-salam sebagai jual beli yang berdasarkan pemberian sifat (terhadap barang) yang masih ada dalam tanggungan, yang seorang muslim membeli suatu barang dengan menetapkan sifat-sifatnya, yang barangnya bisa berupa makanan, binatang, atau selain keduanya. Barang tersebut ditangguhkan penyerahannya sampai batas tertentu. Pemesan harus menyerahkan uang ketika terjadi transaksi dan ia menunggu penyerahan barang tersebut sampai batas waktu yang telah ditentukan. Jika waktunya telah tiba, maka si penjual harus menyerahkan barang pesanan kepada orang yang memesannya.[55]
b) Landasan Syariah
                        Adapun landasan syariah dari produk ini adalah sebagai berikut:
(1) hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim, serta para imam sunnah lainnya, yaitu:[56]
مَنْ أَسْلَفَ فِيْ شَيْئٍ فَلْيُسْلِفْ فِيْ كَيْلٍ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُوْمٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُوْمٍ.
"Barangsiapa yang memesan suatu barang (salaf atau salam), maka ia harus memesannya dengan takaran dengan takaran dan timbangan yang jelas sampai kepada batas waktu yang telah ditentukan."

(2) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan Imam Ibnu Majah sebagai berikut:
"Dari Salih bin Suhaib ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda, 'tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan: jual beli secara tangguh, muqaradah, (mudarabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah tangga bukan untuk dijual."[57]

(3) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan Imam al-Bukhari dan Imam Muslim dari sahabat Ibnu Abbas ra. sebagai berikut:
قَدِمَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِيْنَةَ وَهُمْ يُسْلَفُوْنَ فِيْ الثِّمَارِ السَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ وَالثَّلَاثَ.
"Suatu hari Rasulullah saw. datang ke Madinah dan ketika itu penduduk Madinah biasa melakukan salaf (pemesanan) buah-buahan dalam jangka waktu setahun, dua tahun, dan tiga tahun."[58]

c) Profil Singkat tentang Ba'i as-Salam
Syarat-syarat terjadinya bai' as-salam adalah (1) muslam (pembeli); (2) muslam ilaihi (penjual); (3) modal atau uang; (4) muslam fih (barang); dan (5) sighah (ucapan).[59]
Adapun syarat sahnya ba'i as-salam adalah (1) pembayaran dilakukan secara kontan dengan emas, perak atau pengganti keduanya; (2) barang yang dipesan harus ditetapkan sifat-sifatnya dan kriterianya secara jelas dan lengkap; (3) jangka waktunya harus ditentukan dengan jelas; (4) pembayaran dilakukan secara kontan agar dalam suatu majelis tidak digolongkan jual beli hutang yang diharamkan.[60]
3) Ba'i al-Istisna' (Purchase by Order or Manufacture)
a) Pengertian  
Ba'i al-istisna' adalah kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Pembuat barang menerima pesanan dari pembeli kemudian dengan melalui orang lain ia membuat atau membeli barang menurut spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua belah pihak bersepakat mengenai harga dan sistem pembayaran; apakah pembayaran dilakukan di muka, melalui cicilan, atau ditangguhkan.[61]
b). Landasan Syariah
Adapun landasan syariah dari produk ini adalah sama dengan landasan syari'ah pada produk ba'i as-salam. Walaupun terdapat pembahasan lebih lanjut dari para ulama tentang produk ini.[62]
d. Prinsip sewa (Operational Lease and Financial Lease)
1) al-Ijarah
a) Pengertian  
Al-Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership milkiyyah) atas barang itu sendiri.[63]
Menurut Syaikh Abu Bakar ijarah adalah suatu akad terhadap sesuatu yang mempunyai manfaat dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran (harga) tertentu pula.[64]
b) Landasan Syariah
                        Landasan syariah dari produk ini adalah sebagai berikut:
(1) Q.S. al-Baqarah [2]: 233,
(2) Q.S. al-Kahfi [18]: 77,
(3) Q.S. al-Qasas [28]: 26,
(4) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Ahmad bin Hanbal sebagai berikut:
روي ابْنُ عَبَّاسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَاعْطَى الْحَجَّامَ أَجْرَهُ.
"Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah saw. bersabda, 'berbekamlah kamu, kemudian berikanlah upahnya kepada tukang bekam itu.'"

(5) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah dari sahabat Ibnu Umar ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda,
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: اَعْطُوا الْأَجِيْرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ.       
"Dari Ibnu Umar ra. bahwasanya Nabi saw. bersabda, 'berikanlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering.'"

(6) Hadis Qudsi yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut:
"Allah swt. berfirman, 'tiga golongan manusia yang Aku menjadi musuh mereka pada hari kiamat yaitu, orang yang memberi dengan bersumpah atas nama-Ku lalu berkhianat, orang yang menjual orang merdeka, lalu memakan uangnya, dan orang yang mempekerjakan pekerja, tetapi tidak diberikan upahnya.'"

c) Profil Singkat tentang Ijarah
Beberapa ketentuan hukum ijarah, yaitu: (1) diperbolehkan menyewa guru untuk mengajarkan ilmu atau keterampilan; (2) diperbolehkan menyewa pekerja dengan memberikan upah berupa makanan dan pakaian; (3) diperbolehkan menyewa rumah tertentu yang kelayakannya didasarkan pada dugaan; (4) diperbolehkan memotong uang sewa, jika dilarang memanfaatkannya dalam jangka waktu tertentu, kecuali si penyewa yang berinisiatif untuk tidak memanfaatkannya; (5) ijarah dianggap batal, apabila barang yang disewa rusak; (6) barang yang cacat yang tidak diketahui sebelumnya tetap dibayar, jika si penyewa rela dengan cacat tersebut dan telah memanfaatkannya; (7) pekerja tidak diwajibkan mengganti kerusakan barang yang dipakainya selama ia tidak lalai atau berlebih-lebihan; (8) upah diberikan harus ditetapkan melalui akad; (9) pekerja berhak menahan barang sampai upahnya dibayarkan; dan (10) seorang pengobat yang bukan ahlinya (malpraktek) bertanggung jawab terhadap kerusakan yang dilakukannya.[65]
2)  Al-Ijarah al-Muntaha bit-Tamlik (Financial Lease With purchase Option)
a) Pengertian  
Al-Ijarah al-muntaha bit-tamlik adalah perpaduan kontrak jual beli dengan sewa atau dengan kata lain, akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa. Sifat pemindahan kepemilikan ini yang membedakannya dengan ijarah biasa.[66]
b) Landasan Syariah
                        Adapun landasan syariah dari produk ini adalah sebagai berikut:[67]
(1) Q.S. az-Zukhruf [43]: 32;
(2) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq dari sahabat Abu Hurairah ra. dan sahabat Abu Said al-Khudri, sebagai berikut
مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
"Barangsiapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya."

(3) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Abu Dawud, Imam an-Nasai dari sahabat Sa'd Ibn Abi Waqqas dengan matn (teks) dari Imam Abu Dawud sebagai berikut:
"Kami pernah menyewakan tanah dengan (bayaran) hasil tanaman yang tumbuh pada parit dan tempat yang teraliri air, maka Rasulullah saw. melarang kami melakukan hal itu dan memerintahkan agar kami menyewakan tanah itu dengan emas atau perak (uang)."

(4) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam at-Tirmizi dari sahabat 'Amr bin 'Auf:
الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِيْنَ إِلاَّ صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا وَالْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ إِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلَالاً أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا.
"Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram."

c) Profil Singkat tentang al-Ijarah al-muntaha bit-tamlik
Al-Ijarah al-muntaha bit-tamlik mempunyai beberapa bentuk, tergantung pada apa yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kesepakatan itu dalam hal, antara lain, al-ijarah dan janji menjual, nilai sewa yang ditentukan dalam al-ijarah, harga barang dalam transaksi jual, dan waktu kepemilikan berpindah tangan.[68]
Adapun proses berpindahnya kepemilikan dilakukan dengan dua cara, yaitu dengan hibah dan janji menjual (promise to sell).[69]
e. Prinsip penawaran Jasa
1) al-Wakalah
a) Pengertian  
Al-Wakalah atau al-wikalah berarti 'penyerahan', 'pendelegasian', atau 'pemberian mandat'. Contoh kalimat "aku serahkan urusanku kepada Allah" mewakili pengertian istilah tersebut. Secara istilah atau terminologi al-wakalah adalah 'pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan'. [70]
Menurut Bank Indonesia al-wakalah adalah akad pemberian kuasa dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi tugas.[71]
b) Landasan Syariah
                        Adapun landasan syariah dari produk ini adalah sebagai berikut:
(1) Q.S. al-Kahfi [18]: 19, ayat ini menggambarkan seorang as-habul kahfi mewakili teman dalam memilih dan membeli makanan.
(2) Q.S. Yusuf [12]: 55, pada konteks ini Nabi Yusuf as. siap menjadi wakil dan pengemban amanah sebagai bendaharawan Mesir.
(3) Q.S. at-Taubah [9]: 60, pada konteks ayat ini, yaitu terdapat orang-orang yang mewakili sang imam atau pemimpin untuk mengumpulkan zakat.
(4) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam Malik dalam kitabnya al-muwaththa' sebagai berikut:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعَثَ أَبَا رَافِعٍ وَرَجُلَا مِنَ الْأَنْصَارِ فَزَوَّجَاهُ مَيْمُوْنَةَ بِنْتَ الْحَارِثِ.
"Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan Abu Rafi' dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah Binti al-Harits."

(5) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan Imam al-Bukhari, Rasulullah saw. bersabda yang ditujukan kepada sahabat Unais ra.:
اغْدُ يَا أُنَيْسُ إِلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمُهَا.
"Hai Unais pergilah kamu kepada wanita ini, jika ia mengakui perbuatannya (zina), maka rajamlah ia."

Pada konteks hadis ini, Rasulullah saw. mewakilkan dirinya kepada Unais ra. untuk mengetahui kebenaran perbuatan yang dilakukan oleh seorang wanita. Apabila perbuatan itu benar, maka Unais juga mewakili Rasulullah saw. untuk merajamnya.
c) Profil Singkat tentang al-Wakalah
Ada beberapa rukun dalam al-wakalah, yaitu (1) pihak yang memberi kuasa (muwakil); (2) pihak penerima kuasa (wakil); (3) objek yang dikuasai (taukil); dan (4) ijab qabul (sighat).[72]
                        Adapun ketentuan hukumnya adalah (1) al-wakalah dilakukan dengan semua perkataan yang menunjukkan kepada pemberian mandat; (2) al-wakalah sah dalam setiap akad jual beli, nikah, rujuk, fasakh, thalaq, dan khulu', serta sah hukumnya al-wakalah dalam pelimpahan kekuasaan untuk masalah pembagian zakat, pelaksanaan ibadah haji dari seorang yang sudah meninggal atau orang yang sudah lemah, dan lain-lain; (3) al-wakalah sah dalam menetapkan suatu hukuman dan melaksanakannya; (4) al-wakalah tidak sah dalam hal-hal tertentu seperti: shalat, puasa, li'an, zhihar, sumpah, nazdar, kesaksian, dan hal-hal yang diharamkan; (5) al-wakalah batal jika salah satu pihak membatalkannya atau ada yang meninggal dunia atau gila; (6) wakil dalam jual beli tidak boleh menjual untuk dirinya atau membeli untuk dirinya, anaknya, istrinya atau orang yang tidak diterima kesaksiannya; (7) seorang wakil tidak bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya taukil kecuali karena keteledoran wakil atau ia melampaui batas; (8) sah melakukan al-wakalah secara mutlak kecuali urusan cerai; (9) jika muwakil memerintahkan wakil-nya membeli barang tertentu, maka si wakil tidak boleh membeli barang yang lain; (10) sah melakukan al-wakalah dengan memberi upah.[73]
2) al-Kafalah
a) Pengertian  
Al-Kafalah adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain, mengalihkan tanggung jawab seseorang yang dijamin dengan berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.[74]
b) Landasan Syariah
                        Adapun landasan syariah produk ini adalah sebagai berikut:
(1) Q.S. Yusuf [12]: 66 dan 72,
(2) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari sebagai berikut:
"Telah dihadapkan kepada Rasulullah saw. mayat seorang laki-laki untuk dishalatkan.... Kemudian Rasulullah saw. bertanya, 'Apakah ia mempunyai warisan?' Para sahabat menjawab, 'Tidak!' Rasulullah saw. bertanya lagi, 'Apakah ia mempunyai utang?' Sahabat menjawab, 'Ya, sebanyak tiga dinar'. Rasulullah saw. pun memerintahkan para sahabat untuk menshalatkannya, tetapi beliau sendiri tidak menshalatkannya. Abu Qatadah lalu berkata, 'Saya menjamin utangnya ya Rasulallah!' Kemudian Rasulullah saw. pun menshalatkannya."

c) Profil Singkat tentang al-Kafalah
Menurut jenisnya, al-kafalah ini dibagi atas lima macam, (1) kafalah bi an-nafs, yaitu akad pemberian jaminan atas diri (personal quarantee); (2) kafalah bi al-mal, yaitu pemberian jaminan dengan pembayaran harta atau pelunasan utang; (3) kafalah bi at-taslim, yaitu jaminan pengembalian atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir; (4) kafalah al-munjazah, yaitu jaminan mutlak yang tidak dibatasi oleh jangka waktu dan untuk kepentingan atau tujuan tertentu; (5) kafalah al-mu'allaqah, merupakan penyederhanaan dari kafalah al-munjazah baik oleh industri perbankan maupun asuransi.[75]
3) al-Hawalah (Transfer Service)
a) Pengertian  
Al-Hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Dengan kata lain, menurut ulama, pemindahan beban utang dari muhil (orang yang berutang menjadi tanggungan muhal 'alaih (orang yang berkewajiban membayar utang).[76]
b) Landasan Syariah
                        Al-hawalah dibolehkan berdasarkan sunnah dan ijma.[77]
c) Profil Singkat tentang al-Hawalah
Terdapat beberapa rukun al-hawalah, yaitu (1) pihak yang berutang dan berpiutang (muhil); (2) pihak yang berpiutang (muhal); (3) pihak yang berutang dan berkewajiban membayar utang kepada muhil (muhal 'alaihi); (4) utang muhil kepada muhal (muhal bih); (5) utang muhal alaihi kepada muhil; (6) ijab qabul (sigat).[78]
Adapun syarat-syarat al-hawalah adalah (1) utang yang dialihkan adalah utang yang benar-benar terdapat pada tanggungan orang yang berutang yang akan mengalihkannya; (2) kedua utang yang dialihkan harus sama dari segi jenis, perjanjian, jumlah, sifat, dan waktu pembayarannya; (3) masing-masing kedua belah pihak terdapat kerelaan.[79]
4) ar-Rahn (Mortgage)
a) Pengertian  
Ar-Rahn adalah menahan salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana, ar-rahn adalah jaminan utang atau gadai.[80]
b) Landasan Syariah
                        Adapun landasan syariah dari produk ini adalah:
(1) Q.S. al-Baqarah [2]: 283,
(2) Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi'i, ad-Daruqutni, dan Imam Ibnu Majah dan hadis ini dianggap hasan karena banyaknya jalur periwayatannya,
لاَ يُغْلِقُ الرَّهْنُ مِنْ صَاحِبِهِ الَّذِي رَهَنَهُ, لَهُ غُنْمُهُ وَعَلَيْهِ غُرْمُهُ.
"Barang gadaian tidak hilang dari pemiliknya yang telah menggadaikannya, karena keuntungan baginya dan kerugian pun untuknya."

(3) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُوْدِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ دِرْعًا مِنْ حَدِيْدٍ.
"Aisyah ra. berkata, 'bahwasanya Nabi saw. membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya sebuah baju dari besi."

c) Profil Singkat tentang ar-Rahn
Terdapat beberapa rukun dalam ar-rahn, yaitu (1) pihak yang menggadaikan (rahin); (2) pihak yang menerima gadai (murtahin); (3) objek yang digadaikan (marhun); (4) utang (marhun bih); (5) ijab qabul (sighat).[81] Selain itu, terdapat beberapa ketentuan-ketentuan hukum di dalamnya yang harus diketahui oleh pihak yang terlibat dalam kegiatan ar-rahn ini.[82]
5) al-Qard (Soft and Benevolent Loan)
a) Pengertian  
Al-Qard adalah pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali. Dengan kata lain, al-qard adalah pinjaman tanpa imbalan. Ia biasa juga dikategorikan ‘aqd tathawwu atau akad saling membantu dan bukan transaksi komersial.[83]
Adhiwarman A. Karim mengartikan al-qard sebagai "peminjaman uang atau barang berdasarkan kepercayaan." Kata ini ada hubungannya dengan istilah kredit dalam bahasa kita. Kata ini diambil dari kata credo yang berarti 'memberikan pinjaman uang atas dasar kepercayaan'. Setelah ditelusuri, ternyata kata credo berasal dari istilah ilmu fiqh yaitu al-qard.[84]
b) Landasan Syariah
                        Adapun landasan syariah dari produk ini adalah sebagai berikut:
(1) Q.S. al-Hadid [57]: 11,
(2) Hadis Nabi saw. yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Imam Baihaqi, sebagai berikut:
"Dari Ibnu Mas'ud meriwayatkan bahwasanya Nabi saw. berkata, 'Bukan seorang muslim yang meminjamkan muslim lainnya dua kali kecuali yang satunya adalah seperti nilai sedekah.'"

(3) Ijma'
c) Profil Singkat tentang al-Qard
Adapun rukun dalam al-qard adalah (1) adanya pihak yang meminjam (muqtarid); (2) pihak yang memberi pinjaman (muqrid); (3) dana (al-qard); (4) ijab qabul (sighat).[85]

  1. Mekanisme Kerja Bank Syariah
Sesuai dengan struktur organisasi sistem perbankan syariah, maka mekanisme kerja pada msing-masing bagian adalah:[86]
a.  dengan adanya keputusan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) yang antara lain menyangkut Laporan Pertanggungjawaban Direksi serta Rencana Kerja selanjutnya, maka bank syariah dapat mengadakan langkah kebijaksanaan serta operasionalisasi selanjutnya;
b. di samping itu, adanya Fatwa Agama dan Dewan Pengawas Syariah (DPS) terutama yang menyangkut produk-produk bank syariah, maka langkah kebijaksanaan serta operasionalisasi bank syariah tersebut mendapatkan pengabsahannya. Pada hakekatnya, DPS dengan Fatwa Agama inilah yang memegang peranan penting dalam bank syariah meskipun personalianya ditetapkan RUPS, karena Fatwa Agama dari DPS bukan sekedar “nasehat”, melainkan merupakan dasar operasional yang sangat mengikat;
c.  selanjutnya, dalam operasional bank syariah tersebut terdapat dua macam pengawasan:
1)      pengawasan internal oleh Dewan Komisaris, DPS, dan Direksi;
2)      pengawasan eksternal oleh Bank Indonesia.

  1. Falsafah Operasional Bank Syariah
Adapun falsafah operasional bank syariah adalah:[87]
a.       menjauhkan diri dari unsur riba, dengan cara:
1)      menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha (Q.S. Luqman: 34);
2)      menghindari penggunaan sistem prosentase untuk pembebanan biaya terhadap hutang atau pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan secara otomatis hutang atau simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (Q.S. Ali Imran: 130);
3)      menghindari penggunaan sistem perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (H.R Muslim Bab Riba No. 1551 s/d 1567);
4)      menghindari penggunaan sistem yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (H.R. Muslim Bab Riba No. 1569 s/d 1572).
b.      Menetapkan sistem bagi hasil dan perdagangan.
                        Dengan berdasarkan pada Q.S. al-Baqarah: 275 dan Q.S. an-Nisa’: 29, maka setiap transaksi kelembagaan syariah harus dilandasi atas dasar sistem bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya, pada kegiatan muamalah berlaku prinsip ada barang atau jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang atau jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi, dan inflasi.

  1. Kendala-kendala Pengembangan Bank Syariah
Dalam perkembangannya, bank syariah tidak terlepas dari berbagai kendala yang dihadapi. Muslim H. Kara mengemukakan beberapa kendala perkembangan bank syariah di Indonesia, yaitu:[88]
a.       rendahnya pengetahuan dan adanya kesalahpahaman masyarakat tentang bank syariah;
b.      belum tersedianya ketentuan pelaksana terhadap operasional bank syariah;
c.       terbatasnya jaringan kantor perbankan syariah;
d.      Kurangnya sumber daya manusia yang memiliki keahlian di bidang perbankan syariah
Zaenul Arifin mengemukakan kendala-kendala pengembangan bank syriah[89] di Indonesia sebagai berikut:[90]
  1. Hukum, lembaga keuangan syariah berdiri dengan dasar UU Perbankan No. 2 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992. Selain kedua perangkat hukum ini, praktis tidak ada peraturan pendukung lainnya. Oleh karena itu, lembaga keuangan syariah dinilai menurut ukuran konvensional. Ketiadaan perangkat hukum ini menyebabkan Lembaga Ekonomi Keuangan Syraiah (LEKS) berusaha menyesuaikan produk-produknya kepada hukum yang berlaku. Akibatnya ciri-ciri khusus yang terdapat padanya tersamar, dan LEKS tampil seperti lembaga keuangan konvensional lainnya.
  2. Likuiditas; hukum yang kondusif mengakibatkan konsekuensi lainnya dalam operasi perbankan. Ketika terjadi masalah likuiditas, seperti belum tersedia fasilitas likuiditas tanpa bunga dari bank sentral. Hal ini disebabkan UU Bank Sental No. 13 Tahun 1968 menegaskan pendapatan Bank Indonesia adalah bunga. Demikian pula dalam produk kerjasama antara Bank Indoensia dengan LEKS, terutama dalam penyaluran modal usaha yang selalu didasarkan atas tingkat pengembalian yang tetap (fixed), padahal untuk modal usaha produk yang paling tepat adalah bagi hasil.
  3. Earning Assets;[91] contohnya, ukuran kolektibilitas terhadap pembiayaan bagi hasil. Jika usaha yang dibiayai secara bagi hasil menghadapi masalah karena sebab yang alami dan pengembalian menjadi nol, terjadi perbedaan perlakuan. LEKS menganggap itu sebagai sesuatu yang normal, “nature of business cycle”, yang mengakibatkan penurunan pendapatan, sementara Bank Sentral mengukurnya berdasarkan ukuran pembiayaan biasa, memasukkannya ke dalam kolektibilitas.
  4. Akuntansi dan perpajakan; sistem akuntansi perbankan di Indonesia mengacu kepada Standard dan Ketentuan Akuntansi Perbankan Indonesia (SKAPI) tanpa ada referensi khusus tentang lembaga keuangan syariah di dalamnya. Hal ini membuat penilaian terhadap pembukuan di LEKS tidak sesuai (matching), karena asumsi yang mendasari SKAPI adalah lembaga keuangan konevansional. Di kalangan LEKS international telah disusun standar akuntansi tersendiri, yaitu Accounting and Auditing Standart for Islamic Bank and Financial Institutions, dengan organisasinya Accounting and Auditing Organizations for Islamic Financial Institutions (AAOIFI) yang berpusat di Bahrain. Walaupun standar ini baku, tetapi mereka menyerahkan pilihan kepada lembaga masing-masing untuk merujuk sistem akuntansi yang disukai. Selain itu, produk-produk aset LEKS yang diambil dari transaksi riil, seperti jual-beli dan sewa-menyewa, akan menghadapi masalah yang sama dalam perlakuan pajak. Produk jual-beli dalam LEKS idealnya adalah transaksi jual-beli riil antara nasabah dan lembaga pembiayaan bukan tersamar seperti pembiayaan. Hal ini akan mengakibatkan pajak ganda (double taxation), yaitu pajak jual-beli pada saat transaksi dan pajak pendapatan (Pph. pasal 22) di akhir tahun. Hal ini membuat produk LEKS lebih mahal dan tidak menarik.
  5. Lingkungan sosial; masyarakat Indonesia telah mengenal dunia perbankan sejak lama, tetapi semakin akrab dengan Paket Oktober 1998 yang membuat dunia keuangan menjadi liberal. Oleh karena itu, budaya bunga pada perbankan konvensional sering terbawa ketika berhubungan dengan LEKS. Hal ini membuat tugas LEKS lebih berat karena harus melakukan “public introduction” untuk kerja dan produk-produknya dalam masyarakat.
Adapun Afdawaisa mengemukakan kendala-kendala pengembangan perbankan syariah yang senada dengan di atas, sebagai berikut:[92]
a.       Dasar hukum operasional perbankan syariah masih baru karena baru pada tahun 1998 terdapat ketentuan operasional yang secara khusus mengatur kegiatan perbankan syariah.
b.      Situasi politik yang kurang kondusif karena kurangnya political will pemerintah dalam menyikapi perkembangan perbankan syariah. Pemerintah masih phobi terhadap istilah yang berkonotasi keislaman karena dikhawatirkan akan mengingatkan masyarakat terhadap Piagam Jakarta.
c.       Adanya perbedaan pendapat atau pandangan ulama dalam melihat permasalahan bunga bank. Apakah ia termasuk riba atau bukan.
d.      Adanya anggapan masyarakat yang kurang tepat terhadap perbankan syariah karena kurangnya pemahaman masyarakat tentang operasionalisasi perbankan syariah.
e.       Kurangnya sumber daya insani (manusia) yang handal dan profesional. Hal ini dilihat dalam proses operasionalisasinya, perbankan syariah masih kurang memiliki tenaga operasional yang handal dan profesional dibandingkan dengan bank konvensional.
B.     TEORI SIKAP
  1. Pengertian Sikap
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, sikap diartikan sebagai “perbuatan dan sebagainya yang berdasar pendirian (pendapat atau keyakinan).[93] Alex mendefinisikan sikap sebagai “kesiapan pada seseorang untuk bertindak  secara tertentu terhadap hal-hal tertentu”.[94]
Menurut Kartini Kartono istilah sikap atau attitude pertama kali digunakan oleh Herbert Spencer pada tahun 1862. Istilah ini digunakan untuk menunjuk suatu status mental seseorang. Kemudian istilah sikap ini berkembang dan banyak pengertian tentang sikap. Sikap merupakan organisasi kognitif yang dinamis, yang banyak dimuati unsur-unsur emosional (afektif) dan disertai kesiagaan untuk beraksi.[95]
Pada tahun 1928, Louis Thurstone (perintis di bidang pengukuran sikap dan tokoh yang mempopulerkan suatu metodologi pengukuran yang disebut sebagai Skala Thurstone) via Saifuddin Azwar, mendefinisikan sikap sebagai jumlah seluruh kecenderungan dan perasaan, kecurigaan dan prasangka, prapemahaman yang mendetail, ide-ide, rasa takut, ancaman dan keyakinan tentang suatu hal yang khusus. Selanjutnya, pada tahun 1931, Thurstone menyederhanakan definisi sikap, yaitu menyukai atau menolak suatu obyek psikologis.[96]
Definisi terakhir tentang sikap yang dikemukakan Thurstone di atas diungkapkan juga oleh Saifuddin Azwar bahwa Thurstone bersama dengan Charles Osgood mendefinisikan sikap sebagai suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) ataupun perasaan tidak mendukung (unfavorable) obyek tersebut. Kemudian, formulasi oleh Thurstone sendiri mengatakan bahwa sikap adalah derajat afek positif atau afek negatif yang dikaitkan dengan suatu obyek psikologis.[97]
Saifuddin Azwar juga mengemukakan beberapa pendapat tokoh lain tentang pengetian sikap, di antaranya adalah Gordon Allport (tokoh yang terkenal dalam bidang psikologi sosial dan kepribadian) dan Berkowitz. Gordon Allport menjelaskan bahwa sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap sesuatu obyek dengan cara-cara tertentu. Adapun Berkowitz mengemukakan bahwa sikap merupakan suatu respon evaluatif seseorang pada posisi favorable atau  unfavorable, setuju atau tidak setuju.[98]
Hal yang senada diungkapkan oleh Allen L. Edwards, seorang professor di bidang psikologi di Universitas Washington, bahwa sikap merupakan tindakan kenderungan kea rah positif atau negatif terhadap suatu obyek psikologis.[99]
Adapun Dharmesta dan Handoko mengemukakan bahwa sikap (attitude) adalah predisposisi (keadaan mudah terpengaruh) untuk memberikan tanggapan terhadap rangsangan dari lingkungan yang dapat memulai atau membimbing tingkah laku orang tersebut.[100]
            Philip Kotler mendefinisikan bahwa “sebuah sikap menggambarkan penilaian kognitif yang baik maupun tidak baik, perasaan emosional dan kecenderungan berbuat yang bertahan selama waktu tertentu terhadap beberapa obyek atau gagasan.[101]
Berbagai definisi tentang sikap di atas dianggap mencukupi untuk memberikan gambaran tentang pengertian sikap. Tokoh seperti Loudon dan Della Bitta dengan tegas menyatakan bahwa sikap merupakan subyek studi yang sangat penting di bidang perilaku konsumen.[102] Kaitannya dengan penelitian ini berarti studi tentang sikap sangat penting dalam memahami perilaku nasabah bank syariah.
            Hasil-hasil riset tentang sikap dapat digunakan sebagai dasar dalam pengembangan produk baru. Penempatan kembali produk yang telah ada, menciptakan kampanye periklanan, serta memprediksi preferensi-preferensi merek maupun pembelian secara umum, memahami bagaimana sikap dibentuk dan bagaimana sikap mempengaruhi konsumen merupakan unsur penting  bagi suksesnya program pemasaran perusahaan.[103]

  1. Fungsi Sikap
Dalam rangka memahami tentang bagaimana sikap mengalami perubahan dan menolak perubahan, haruslah berangkat dari dasar motivasional sikap itu sendiri. Fungsi sikap bagi individu telah dirumuskan oleh Katz, yang dikenal dengan Teori Fungsional Katz. Menurut teori ini, ada empat fungsi sikap, yaitu:[104]
f.       Fungsi Instrumental, Fungsi Penyesuaian, atau Fungsi Manfaat.
Fungsi ini menunjukkan bahwa individu dengan sikapnya berusaha untuk memaksimalkan hal yang diinginkan dan menghindari seminimal mungkin hal-hal yang tidak diinginkan. Dengan demikian, individu akan membentuk sikap positif terhadap hal yang akan mendatangkan keuntungan dan membentuk sikap negatif terhadap hal yang akan merugikannya.
g.      Fungsi Pertahanan Ego.
Apabila individu mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan dan dianggap mengancam egonya atau apabila ia mengetahui fakta dan kebenaran yang tidak mengenakkan, maka sikap dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan ego yang akan melindunginya dari kepahitan kenyataan tersebut.
h.      Fungsi Pernyataan Nilai.
Dengan fungsi pernyataan nilai, seseorang seringkali mempunyai sikap tertentu untuk memperoleh kepuasan dalam menyatakan nilai yang dianutnya yang sesuai dengan penilaian pribadi dan konsep-dirinya.
i.        Fungsi Pengetahuan.
Menurut fungsi pengetahuan, manusia mempunyai dorongan dasar untuk ingin tahu, untuk mencari penalaran dan untuk mengorganisasikan pengalamannya. Adanya unsur-unsur pengalaman yang semula tidak konsisten dengan apa yang diketahui oleh individu akan disusun kembali atau diubah sedemikian rupa, sehingga tercapai suatu konsistensi.

  1. Obyek dan Karakteristik Sikap
Sasaran suatu sikap atau disebut juga sebagai obyek sikap, dapat berupa apa saja. Seseorang dapat mempunyai suatu kumpulan sikap yang banyak sekali terhadap obyek dalam dunia fisik yang berada di sekelilingnya. Bahkan, dia mungkin mempunyai lebih banyak lagi satuan sikap terhadap obyek-obyek dalam kehidupan sosial tempat tinggalnya. Ia mempunyai sikap terhadap orang atau kelompok lain, dan terhadap peristiwa-peristiwa ekonomi dan politik. Ia mempunyai beragam sikap terhadap seni, filosofi, alam fisik, dan bahkan sikap terhadap dirinya sendiri.[105]
            Sikap mempunyai karakteristik tertentu, sehingga dapat dibedakan dengan aspek mental lainnya. J. R. Eister menjelaskan bahwa sikap mempunyai ciri- ciri tertentu yaitu mempunyai obyek, arah, derajat tertentu, dan intensitas.[106]
            Loudon dan Bitta mengemukakan empat macam karakteristik dari sikap, yaitu:[107]
a.       Sikap mempunyai obyek.
Obyek sikap dapat berupa suatu konsep yang abstrak seperti konsumerisme atau suatu benda yang berwujud seperti sepeda motor. Obyek sikap dapat juga berupa barang yang nyata seperti produk atau suatu tindakan berupa pembelian produk. Obyek lain dari sikap dapat juga berupa orang per orang dan sekumpulan atau sekelompok orang.
b.      Sikap mempunyai arah, derajat, dan intensitas.
Sikap mengungkapkan bagaimana perasaan seseorang terhadap suatu obyek. Sikap mempunyai arah dengan menyatakan rasa suka atau rasa tidak sukanya terhadap suatu obyek. Adapun derajat sikap dinyatakan dengan seberapa besar rasa suka atau rasa tidak suka seseorang terhadap suatu obyek. Kemudian, intensitas merupakan tingkat kepastian dan kepercayaan seseorang terhadap obyeknya.
c.       Sikap mempunyai struktur.
Sikap merupakan suatu organisasi yang berstruktur yang nilai-nilai penting individu dan konsep diri merupakan pusat strukturnya. Sikap yang dekat dengan pusat struktur disebut mempunyai tingkat sentralisasi yang tinggi, sedangkan yang jauh disebut mempunyai tingkat sentralisasi yang rendah. Sikap mempunyai kecendrungan untuk stabil. Sikap yang terbentuk sudah lama sulit diubah. Sebaliknya, sikap yang baru lebih mudah diubah. Sikap juga cenderung menyamaratakan suatu hal. Antara sikap yang satu dengan sikap yang lain belum tentu sama menonjolnya. Sikap cenderung menonjol pada hal-hal yang dianggap penting.
d.      Sikap merupakan hasil belajar.
Sikap terbentuk dari pengalaman-pengalaman yang betul-betul dialami seseorang dan juga informasi-informasi dari teman-teman, wiraniaga, dan media masa. Sikap juga didapat dari pengalaman-pengalaman dalam hidup, baik langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, penting mengenal pembelajaran yang mendahului pembentukan dan perubahan sikap yang dapat membantu pemasar dalam membangun dan merubah sikap konsumen. Perusahaan seyogyanya memahami karakteristik sikap karena bermanfaat dalam upaya memahami sikap secara mendalam.
Menurut W. A. Gerungan, karakteristik sikap, yaitu:[108]
a.       sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan individu dalam hubungan dengan berbagai obyeknya;
b.      sikap dapat berubah-ubah, maka sikap dapat dipelajari;
c.       sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mengandung reaksi tertentu terhadap suatu obyek;
d.      obyek sikap dapat merupakan satu hal tertentu atau satu obyek saja, tetapi dapat juga merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut atau berkaitan dengan sederetan obyek yang serupa;
e.       sikap mempunyai segi-segi motivasi dan perasaan.

  1. Struktur Sikap
Dilihat dari strukturnya, sikap terdiri atas tiga komponen yang saling menunjang, yaitu:[109]
a.       Komponen Kognitif (Cognitive).
Komponen kognitif berupa apa yang dipercayai oleh subyek pemilik sikap atau berisi kepercayaan seseorang mengenai obyek sikap. Kepercayaan datang dari apa yang telah dilihat atau apa yang telah diketahui. Kemudian terbentuk suatu ide atau gagasan mengenai sifat atau karakteristik umum suatu obyek. Sekali kepercayaan itu terbentuk, maka ia akan menjadi dasar pengetahuan seseorang mengenai apa yang dapat diharapkan dan apa yang tidak dapat diharapkannya dari obyek tertentu. Dengan demikian, interaksi dan prediksi seseorang akan pengalaman di masa datang akan lebih mempunyai arti dan keteraturan. Akan tetapi, kepercayaan sebagai komponen kognitif tidak selalu akurat. Kadang-kadang kepercayaan itu terbentuk dikarenakan tidak adanya informasi yang tepat mengenai obyek yang dihadapi.
b.      Komponen Afektif (Affective).
Komponen afektif berkaitan dengan masalah emosional subyektif seseorang terhadap sesuatu obyek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Akan tetapi, pengertian perasaan pribadi seringkali sangat berbeda perwujudannya bila dikaitkan dengan sikap. Pada umumnya, reaksi emosional yang merupakan komponen afektif ini banyak ditentukan oleh kepercayaan atau apa yang dipercayai benar terhadap obyek yang dimaksudkan.
c.       Komponen Konatif (Conative).
Komponen konatif atau komponen perilaku dalam sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada pada diri seseorang berkaitan dengan obyek sikap yang dihadapinya. Asumsi dasar adalah bahwa kepercayaan dan perasaan mempengaruhi perilaku. Maksudnya, bagaimana orang berperilaku dalam situasi tertentu dan terhadap stimulus tertentu banyak dipengaruhi oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini membentuk sikap individual.

  1. Pembentukan dan Perubahan Sikap
Menurut W.A. Gerungan bahwa sikap merupakan hasil proses belajar seseorang. Oleh karena itu, sikap ini dapat terbentuk karena interaksi individu dengan obyek di luar dirinya. Sikap ini terbentuk dan berubah karena faktor intern dan faktor ekstern. Faktor intern dapat berupa minat, perhatian, daya pilih atau selektivitas (selectivity) seseorang terhadap sesuatu. Adapun faktor ekstern dapat berupa isi atau sifat dari obyek, person penyampai dan pendukung obyek sikap, situasi dan cara dimunculkannya obyek sikap.[110]
Sikap sosial terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih dari sekedar adanya kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain, terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku masing-masing individu sebagai anggota masyarakat. Interaksi sosial tersebut meliputi hubungan antara individu dengan lingkungan fisik maupun lingkungan psikologis di sekelilingnya.[111]
Dalam interaksi sosialnya, individu bereaksi membentuk pola sikap tertentu terhadap obyek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap adalah:[112]
a.       Pengalaman Pribadi.
Apa yang dialami seseorang akan membentuk dan mempengaruhi penghayatan terhadap stimulus sosial. Tanggapan akan menjadi salah satu dasar terbentuknya sikap. Untuk dapat mempunyai tanggapan dan penghayatan, seseorang harus mempunyai pengalaman yang berkaitan dengan obyek psikologis. Apakah penghayatan itu akan membentuk sikap positif atau sikap negatif, tergantung pada faktor-faktor lainnya. Pengalaman pribadi harus melalui kesan yang kuat untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap. Oleh karena itu, sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi itu terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional. Dalam situasi ini, penghayatan akan pengalaman akan lebih mendalam dan lebih berbekas.
b.      Kebudayaan.
Kebudayaan mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan sikap seseorang. Apabila seseorang hidup dalam budaya yang mempunyai norma longgar terhadap pergaulan lain jenis, sangat mungkin orang tersebut akan mempunyai sikap yang mendukung terhadap masalah kebebasan pergaulan lain jenis. Apabila seseorang hidup dalam budaya sosial yang mengutamakan kehidupan berkelompok, maka sangat mungkin orang tersebut mempunyai sikap negatif terhadap kehidupan individualisme yang mengutamakan kepentingan individu.
c.       Orang Lain yang Dianggap Penting.
Orang lain di sekitar individu lainnya merupakan salah satu di antara komponen sosial yang dapat mempengaruhi sikap seseorang. Seseorang yang dianggap penting bagi yang lainnya, seseorang yang diharapkan persetujuannya bagi setiap gerak atau tindakan dan pendapatnya, seseorang yang tidak ingin dikecewakan atau seseorang yang berarti khusus bagi yang lainnya, akan banyak mempengaruhi sikap setiap individu terhadap sesuatu. Di antara orang yang biasanya dianggap penting bagi setiap individu adalah orang tua, orang yang status sosialnya lebih tinggi, teman sebaya, teman dekat, guru, teman kerja, isteri atau suami, dan lain-lain.
d.      Media Massa.
Sebagai bentuk sarana komunikasi, berbagai bentuk media massa seperti televisi, radio, surat kabar, majalah, dan lain-lain mempunyai pengaruh dalam pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai tugas pokoknya, media massa membawa pesan-pesan yang berisi sugesti yang dapat mengarahkan opini seseorang. Adanya informasi baru mengenai  sesuatu hal memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya sikap terhadap hal tersebut. Pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi tersebut, apabila cukup kuat, akan memberi dasar afektif dalam menilai sesuatu hal, sehingga terbentuklah arah sikap tertentu.
e.       Institusi atau Lembaga Pendidikan dan Lembaga Agama.
Lembaga pendidikan dan lembaga agama sebagai sistem mempunyai pengaruh dalam pembentukan sikap dikarenakan keduanya meletakkan dasar pengertian dan konsep moral dalam diri individu. Pemahaman akan baik dan buruk, garis pemisah antara sesuatu yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan, diperoleh dari pendidikan dan dari pusat keagamaan serta ajaran-ajarannya. Konsep moral dan ajaran agama sangat menentukan sistem kepercayaan. Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau pada gilirannya konsep tersebut ikut berperanan dalam menentukan sikap individu terhadap suatu hal.
f.       Faktor Emosi dalam Diri Individu.
Terkadang suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari oleh emosi, yang berfungsi penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Sikap seperti itu dapat merupakan sikap yang sementara dan segera berlalu begitu frustasi telah hilang, tetapi dapat pula merupakan sikap yang lebih konsisten dan bertahan lama.
5. 1. Kepuasan sebagai Faktor yang Mempengaruhi Sikap Nasabah
Nasabah adalah semua orang dan rumah tangga yang membeli atau menerima barang dan jasa bagi konsumen pribadi.[113] Pengertian lain dari nasabah adalah orang yang memerlukan  pelayanan, perhatian, dan perlakuan. Orang ini akan bereaksi secara cepat, efisien dengan kesepakatannya.[114]
            Tingkat kepuasan konsumen akan terbentuk dari dua pihak. Pertama, pihak perusahaan yang diwujudkan dalam tujuan perusahaan, produk yang dihasilkan dan nilai produk yang diciptakan bagi pelanggan. Kedua, pihak konsumen yang terwujud dalam kebutuhan dan keinginan konsumen serta harapan terhadap produk yang diterima. Apabila kedua pihak ini saling bersesuaian, maka kosumen akan merasa puas.[115]
            Tingkat kepuasan ini merupakan hasil evaluasi terhadap kinerja atau hasil dari jasa atau produk yang dipergunakan oleh konsumen dengan berpijak pada apa yang dirasakan, terkait dengan penggunaan jasa atau produk tersebut, dengan apa yang dia harapkan dari jasa atau produk tersebut.[116]
            Kotler mengemukakan bahwa kepuasan merupakan tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja atau hasil yang dirasakan dengan harapan yang diinginkan.[117] Adapun Tjiptono berpendapat bahwa kepuasan adalah respon pelanggan terhadap evaluasi ketidaksesuaian (discomfirmation) yang dirasakan antara harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual produk yang dirasakan setelah pemakaian. Apabila hasil yang dirasakan sesuai dengan harapan, maka seseorang akan merasa puas. Sebaliknya, pelanggan akan merasa tidak puas atau kecewa jika apa yang didapatkan atau dirasakan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan.[118]
            Berdasarkan penjelasan di atas, apabila dikaitkan dengan bank syariah, seorang calon nasabah misalnya, yang mempunyai sikap positif terhadap bank syariah, ia kemudian menjadi nasabah bank syariah dengan membeli produk atau menggunakan jasa karena percaya bahwa bank syariah bisa memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan bank konvensional dan mendapatkan pelayanan yang memuaskan. Akan tetapi, setelah menjadi nasabah bank syariah, ternyata ia mendapatkan return yang jauh di bawah bank konvensional dan ia mendapatkan pelayanan yang kurang memuaskan, maka nasabah tersebut akan berubah sikap yang pada mulanya mempunyai sikap positif menjadi negatif terhadap bank syariah. Bahkan, nasabah bisa saja membatalkan pembelian produk atau penggunaan jasa bank syariah sebagai wujud rasa kecewa terhadap bank syariah tersebut.
            Adapun kepuasan nasabah terhadap suatu produk atau jasa, menurut Morison, dipengaruhi oleh berbagai aspek, di antaranya:[119]
  1. perilaku karyawan, rupa, dan seragam;
  2. permukaan luar gedung;
  3. peralatan;
  4. mebel dan perlengkapannya;
  5. tanda-tanda seperti billboard dan tanda petunjuk arah yang digunakan oleh nasabah;
  6. komunikasi dengan konsumen dan masyarakat.
Menurut Gulledge, ada 5 hal yang mempengaruhi kepuasan nasabah, yaitu:[120]
  1. sistem pengiriman produk atau jasa;
  2. tampilan dari produk atau jasa;
  3. citra perusahaan;
  4. hubungan antara nilai barang dengan harga;
  5. tingkat kinerja perusahaan.
5.2.  Pelayanan sebagai Faktor yang Mempengaruhi Sikap
Pelayanan yang memuaskan pelanggan dapat mempengaruhi sikap seseorang. Oleh karena itu, petugas pelayanan perlu memperhatikan berbagai hal yang bisa menjamin mutu pelayanan.
Menurut As Mahmoedin bahwa petugas pelayanan perlu memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya:[121]
  1. fisik, maksudnya pelayan atau petugas bank mempunyai badan yang sehat, bersih, rapi, dan tidak kusut;
  2. mental, maksudnya pelayan atau petugas harus percaya diri, memiliki emosi yang stabil, aktif, ulet, loyal, enerjik, disiplin, cermat, dan penuh perhatian pada orang lain;
  3. kepribadian, maksudnya pelayan atau petugas bank harus menarik, sopan, arif,mandiri, dan ramah;
  4. sosial, maksudnya pelayan  atau petuga bank harus berbudi pekerti yang baik, pandai bergaul, tidak menonjolkan ego, rendah hati, tenang, empati, dan penuh perhatian pada orang lain.
Heru Sulistyo mengemukakan enam aspek yang menentukan mutu pelayanan, yaitu:
  1. fungsi, yaitu kinerja utama dari suatu pelayanan;
  2. karakteristik yang diharapkan;
  3. kesesuaian, yaitu kepuasan yang didasarkan pada pemenuhan persyaratan yang telah ditetapkan;
  4. keandalan, yaitu tingkat kepercayaan terhadap produk;
  5. kemampuan pelayanan, yaitu kemampuan untuk melakukan perbaikan apabila terjadi kekeliruan;
  6. estetik, yaitu pengalaman pelanggan yang berkaitan dengan perasaan dan panca indera.[122]
Menurut Goes dan Dais via DS Tampubolon bahwa mutu pelayanan dalam industri jasa mempunyai beberapa sifat pokok, yaitu:[123]
  1. kepercayaan (reliability), meliputi jujur, aman, tepat waktu, ketersediaan;
  2. jaminan (assurance), meliputi kompetensi, percaya diri, menimbulkan keyakinan kebenaran (objective);
  3. penampilan (performance), yaitu keberhasilan atau kesehatan, perbuatan bank, teratur dan rapi, cantik (indah), berpakaian rapi, dan harmonis;
  4. empati (emphaty), meliputi penuh perhatian kepada setiap pelanggan, melayani pelanggan dengan ramah dan menarik,  memahami aspirasi pelanggan, berkomunikasi dengan baik dan benar, bersikap penuh simpati;
  5. tanggapan (response), yaitu tanggap terhadap kebutuhan pelangan, cepat memberi respons terhadap permintaan pelanngan, cepat memberi respon terhadap permintaan pelanggan, cepat memperhatikan dan mengatasi berbagai keluhan pelangan.

  1. Hubungan Sikap dengan Perilaku
Sikap mempunyai pengaruh yang besar pada diri seseorang karena sikap menentukan cara-cara sseorang berperilaku dalam menghadapi suatu obyek tertentu.[124] Perilaku didefinisikan sebagai berbagai kegiatan individu yang secara langsung terlibat dalam mendapatkan dan mempergunakan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk proses pengambilan keputusan pada persiapan  dan penentuan kegiatan-kegiatan tersebut.[125]
            Sikap yang ada pada seseorang akan memberikan warna pada perilaku orang tersebut. Sebaliknya, perilaku seseorang dilatarbelakangi oleh sikap tertentu. Sikap dapat digunakan untuk memprediksi respon atau perilaku yang akan dimunculkan seseorang terhadap suatu stimulasi berupa obyek itu sendiri.[126]
            Hubungan sikap dengan perilaku dijelaskan melalui Theory of Planned Behavior dari Ajzen bahwa intensi untuk berperilaku ditentukan oleh tiga faktor, yaitu:[127] a. sikap terhadap perilaku; b. norma subyektif; dan c. kontrol perilaku yang dihayati.
            Menurut Fishbein dan Ajzen, minat berperilaku seseorang diukur dari sikap dan norma subyektif yang terdapat padanya. Sikap adalah faktor yang berasal dari diri individu seseorang, sedangkan norma subyektif adalah faktor yang berasal dari luar individu yaitu lingkungan sosial yang melingkupi individu tersebut. Berdasarkan teori ini, seseorang mempunyai minat untuk berperilaku tertentu jika ia mengganggap perilaku tersebut positif dan jika orang-orang di sekitarnya menghendaki ia untuk berperilaku seperti itu.[128]



[1]Muhammad Hatta, “Kedudukan Bank dalam  Masyarakat”, Beberapa Fasal Ekonomi, (Jakarta: Dinas Penerbitan Balai Pustaka, 1958), h. 28 -47.
[2]Anwar Nasution, Tinjauan Ekonomi atas Dampak Paket Deregulasi Tahun 1988 pada Sistem Keuangan Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1991), h. 6. 
[3]Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet, 2000), h. 26
[4]Ibid.
[5]Berdasarkan pernyataan ini, berarti Bank Muamalat bukan bank pertama yang sesuai dengan syariat karena BPR Mardlatillah (BPR-M) dan BPR “Berkah Amal Sejahtera” (BPR-BAS) berdiri lebih awal dari Bank Muamalat.
[6] Iwan Triyuwono, Organisasi dan Akuntasi Syariah, (Yogyakarta: LKIS, 2000), h. 99.
[7]Laporan Tahunan BMI 1992, (Jakarta: BMI, 1992) hal. 5. Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indoensia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap Perbankan Syariah, (Yogyakarta: UII Press, 2005), h. 108.
[8]Muslimin H. Kara, op.cit., hal.108-109. Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syariah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 25.
[9]Muhammad Syafi’I Antonio, op.cit., h. 26.
[10]Zaenul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Alvabet, 2005), h. 1.
[11]Ibid. h. 2
[12]Ibid. h. 3.
[13]Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2005) h. 13.
[14]Heri Sudarsono, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, (Yogyakarta: Ekonosia, 2004), h. 27.
[15]Latifa M. Algaoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, Prospek, terj. Burhan Wirasubrata, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2003), h. 135.
[16]Warkum Sumitro, Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait BMUI dan Takaful di Indonesia, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1996), h. 18.
[17]Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk, dan Implementasi Operasional Bank Syariah,  (Jakarta: Djambatan, 2001), h. 24.
[18]Muhammad Syafi'i Antonio, op.cit., h. 201-202.
[19]Muhammad, op.cit., h. 16.
[20]Warkum Sumitro, op.cit., h. 20-22.
[21]A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab~Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, t.th.), h. 1651.
[22]Muhammad Syafi'i Antonio, op.cit, h. 85 dan Ivan Rahmawan A., Kamus Istilah Akuntansi Syari'ah, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 181.
[23]Ivan Rahmawan A., loc.cit.
[24]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhajul Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), h. 337.
[25]Ibid., h. 181-182. Lihat juga Muhammad Syafi'i ..., op.cit., hlm. 86-87 dan Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: P.T. Dana Bhakti Prima Yasa, 1999), h. 18.
[26]Muhammad, op.cit., h. 107.
[27]Muhammad, ibid., h. 105.
[28]Muhammad Syafi'i ..., op.cit., h. 90 dan Ivan ..., op.cit., h. 114.
[29]Ibid., h. 91-92.
[30]Ibid., h. 92. Dalam bukunya berjudul "Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer", Adiwarman A. Karim membagi al-musyarakah ke dalam empat jenis yaitu syarikat keuangan (amwal), syarikat operasional (a'mal), syarikat good will (wujuh), dan syarikat mudharabah. Syarikat keuangan tidak disebutkan oleh Muhammad Syafi'i Antonio, tetapi dua istilah syirkah yaitu syirkah al-'inan dan syirkah al-mufawwadhah tidak disebutkan oleh Adiwarman A. Karim. Demikian pula, pembagian al-musyarakah, pada awalnya dibagi dua oleh Muhammad Syafi'i Antonio yaitu al-musyarakah kepemilikan dan al-musyarakah akad. Kemudian al-musyarakah akad inilah yang terdiri dari lima jenis sebagaimana dijelaskan di atas.
[31]Muhammad Syafi'i ..., loc.cit.
[32]Ibid.
[33]Ibid
[34]Ibid., h. 93
[35]Ibid., h 95.
[36]Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari'ah: Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Syari'ah, (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam STIS, 2003), h. 51.
[37]Ivan Rahmawan A., op.cit., h. 111.
[38]Muhammad Syafi'i Antonio, loc.cit. Lihat juga Muhammad, op.cit., h. 106.
[39]Muhammad, Konstruksi..., op.cit., h. 47-48.
[40]Ivan ..., op.cit., h. 112, Muhammad Syafi'i ..., op.cit., h. 97, dan Muhammad, op.cit., h. 108.
[41]Ibid.
[42]Muhammad Syafi'i ..., op.cit., h. 99
[43]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op.cit., h. 319-320.
[44]Ibid., h. 320.
[45]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op.cit., h. 318.
[46]Ibid., h. 318.
[47]Muhammad Syafi'i..., Ibid., h. 100
[48]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op.cit., h. 319.
[49]Muhammad Syafi'i ..., ibid., h. 101. Lihat juga Adhiwarman A. Karim, op.cit., h. 86.
[50]Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Revivalis, terj. Arif Maftuhin, (Jakarta: Paramadina, 2004), h. 120
[51]Muhammad Syafi'i..., ibid., h. 102.
[52]Adiwarman ..., op.cit., h. 89.
[53]Ibid. Lihat juga Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi'i Antonio, op.cit., h. 25-27
[54]Muhammad Syafi'i ..., ibid., h. 108.
[55]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, op.cit., h. 311.
[56]Ibid. dan Muhammad Syafi'i..., lo.cit.
[57]Muhammad Syafi'i..., op.cit., h. 108-109.
[58]Syaikh Abu Bakar Jabir al-Jazairi, loc.cit.
[59]Muhammad Syafi'i..., Ibid., h. 109.
[60]Syaikh Abu Bakar..., op.cit., h. 311-312.
[61]Muhammad Syafi'i..., Ibid., h. 113.
[62]Lihat  Ibid., h. 114.
[63]Ibid., h. 117.
[64]Syaikh Abu Bakar..., op.cit., h. 321.
[65]Ibid., h. 321-322.
[66]Muhammad Syafi'i..., Ibid., h. 118.
[67]M. Ichwan Sam dkk. (ed.), Himpunan Fatwa Dewan Syari'ah Nasional, (Jakarta: P.T. Intermasa, 2003), h. 165-166.
[68]Muhammad Syafi'i..., loc.cit.
[69]Ivan Rahmawan A., op.cit., h. 88-89.
[70]Muhammad Syafi'i..., Ibid., h. 120.
[71]Ivan Rahmawan A., op.cit., h. 183.
[72]Muhammad Syafi'i..., loc.cit.
[73]Syaikh Abu Bakar..., op.cit.,  h. 329-330
[74]Muhammad Syafi'i..., Ibid., h. 123.
[75]Ibid., h. 124-125.
[76]Ibid., h. 126. Lihat juga Syaikh Abu Bakar..., op.cit., h. 323.
[77]Muhammad Syafi'i..., ibid., dan lihat beberapa tambahan hadis pada Syaikh Abu Bakar..., ibid.
[78]Ivan Rahmawan A., op.cit., h. 82.
[79]Syaikh Abu Bakar..., op.cit., h. 324.
[80]Muhammad Syafi'i..., op.cit., h. 128.
[81]Ivan Rahmawan A., op.cit., h. 153.
[82]Lihat Syaikh Abu Bakar..., op.cit., h. 327-328.
[83]Muhammad Syafi'i..., op.cit., h. 131.
[84]Adiwarman..., op.cit., h. 109.
[85]Ivan Rahmawan A., op.cit., h. 151.
[86]Muhammad, op.cit, h. 149 - 150. 
[87]Tim Penyusun, Buku Pintar Badan Arbritase Syariah Nasional, (Yogyakarta: Badan Arbritase Syariah Nasional Perwakilan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, 2005), h. 40-41.
[88]Muslimin H. Kara, op.cit., h. 111.
[89]Zaenul Arifin tidak menyebutkan perbankan syariah secara khusus, tetapi menyebutkan Lembaga Keuangan Ekonomi Syariah (LEKS) pada umumnya. Dimasukkannya pendapat Zaenul Arifin ini, karena bank syariah merupakan bagian dari LEKS, sehingga kendala-kendala yang dihadapi oleh LEKS sama dengan kendala-kendala yang dihadapi oleh bank syariah.
[90]Zaenul Arifin, op.cit., h. 48-50.
[91]Aktiva penghasil yaitu aktiva-aktiva milik suatu bank yang memberikan hasil atau pendapatan kepada bank yang bersangkutan apabila dioperasikan, misalnya sejumlah kredit yang diberikan kepada para nasabah yang sewaktu-waktu dapat ditarik, wesel diskonto, dan lain-lain. Sudarsono dan Edilius, Kamus Ekonomi, Uang, dan Bank, (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), h. 99.
[92]Afdawaisa, “Kendala-kendala Pengembangan Perbankan Syariah  di Indonesia (Antisipasi Pengembangan Ke Depan)”, Tesis Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, 2002, h. 188-189.
[93]W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 944.
[94]Alex, Kamus Ilmiah Populer Internasional, (Surabaya: Alfa, t.t.), h. 376.
[95]Kartini Kartono, Psikologi untuk Manajemen Perusahaan dan Industri, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1994), h. 297. 
[96]Daniel  J. Mueller,  Mengukur Sikap Sosial, terj. Eddy S. Kartawidjaja, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 3.
[97]Saifuddin Azwar, Sikap Manusia: Teori dan Pengukurannya, (Yogyakarta: Liberty, 1988), h. 3. 
[98]Ibid., h. 3-4.
[99]Allen L. Edwards, Techniques of Attitude Scale Construction, (New York: Appleton-Century-Crofts, 1957), h. 2.
[100]Basuswastha Dharmmesta & Hani Handoko, Manajemen Pemasaran: Analisa Perilaku Konsumen, (Yogyakarta: BPFE, 2000), h. 93.
[101]Philip Kotler, Marketing Manajemen, (USA: Prentice Hall, New Jersey, Ninth Edition, 1997), h. 188.
[102]David L Loudon dan Albert J. Della Bitta, Consumen, Concept and Aplication, (Singapore: Mc Graw-Hill, 1998), Third Edition, h. 504 via .
[103]Suhaeri, “Analisis sikap konsumen terhadap produk ‘TASAKA’ di BPR Syariah”, Tesis Magister Hukum Islam, (Yogyakarta: Perpustakaan Pascasarjana UIN Suka , 2007), h. 15, t.d.
[104]Saifuddin Azwar, op.cit., h. 40- 41.
[105]David Krech, Sikap Sosial, terj. Siti Rocmah, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1996), h. 7.
[106]J. R. Eister, Social Psychology Attitude: Cognition and Social Behavior, (Cambridge University Press, 1987), h. 88.
[107]David L Loudon dan Albert J. Della Bitta,  Consumer Behavior, (New York: McGraw-Hill International Edition, 1993), Fourth Edition, h. 504.
[108]W. A. Gerungan, Psikologi Sosial, (Jakarta: Refika Aditama, 2004), h. 163-164.
[109]Saifuddin Azwar, op.cit., h. 17-21.
[110]W.A Gerungan, op.cit., h. 153.
[111]Saifuddin Azwar, op.cit., h. 24.
[112]Ibid., h. 24 – 31.
[113]Philip Kotler, op.cit., h. 173.
[114]Basuswastha Dharmmesta & Handoko, op.cit., h. 90. 
[115]Fandy Tjiptono, Strategi Pemasaran (Yogyakarta: Andi Offset, 1997), h. 25-29.
[116]Ibid. h. 24.
[117]Philip Kotler, op.cit., h. 40.
[118]Fandy Tjiptono, op.cit., h. 24.
[119]M. Alatair Morison, Hospitality and Travel Marketing, (New York: Dilmar Publishing Inc., 1989), h. 235-240.
[120]Heru Sulistyo, Hubungan antara Kualitas Pelayanan dan Kepuasan Pelanggan dalam Pembentukan Instansi Pembelian Konsumen, (Yogyakarta: Tesis Pascasarjana UGM, 1998). h. 28. 
[121]As Mahmoedin, Etiket Pelayanan Bank, Petunjuk Praktis Menjaring Nasabah, (Jakarta: Gunung Agung, 1996), h. 69-120.
[122]Heru Sulistyo, op.cit., h. 15-20.
[123]DS Tampubolon, Pelanggan Perguruan Tinggi dan Kebutuhannya, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi, 1995), h. 10.
[124]Mar’at, Sikap Manusia: Perubahan serta Pengukurannya, (Bandung: Ghalia Indoensia, 1982), h. 22.
[125]Basuswastha Dharmesta dan Hani Handoko, op.cit., h. 10.
[126]Bimo Walgito, Psikologi Sosial, (Yogyakarta: Andi Offset, 1994) h. 114.
[127]John C. Brigham, Social Psychology, (Florida: Harper Collins Publisher), h. 141. James J. Engel dkk. dalam buku Perilaku Konsumen, (Jakarta: Binarupa Aksara, 1994), h. 3, mengutip Fishbein dan Ajzen bahwa perilaku ditentukan oleh dua faktor yaitu: 1) sikap orang tersebut terhadap perilakunya; dan, 2)  norma subyektif yang berkaitan dengan perilaku tersebut.
[128]Basu Swastha Dharmmestha, “Riset tentang Minat dan Perilaku Konsumen: Sebuah Catatan dan Tantangan bagi Peneliti yang Mengacu pada Theory Reasoned of Action”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia, Yogyakarta: FE UGM, 1992, h. 519.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar