PELATIHAN, KURSUS, DAN KONSULTASI

LEMBAGA STUDI UMAT NURUL IMAN (eL-SUNI), YOGYAKARTA
"Mantapkan Iman dengan Ilmu Pengetahuan"

Alamat: Jl. Besi-jangkang, KM 3,5, Belakang Puskesmas Ngemplak 2, Banglen, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, di Samping Penjahit Sri Rejeki (a.n. Muhammad Rais Ramli, M.S.I., M.S.I. Telp./WA/Telegram: 0815-7885-6972; PIN BB: D02A5AB9; E-Mail: Mrais17@yahoo.com; YM: Mrais17).

PELATIHAN & KURSUS
* PELATIHAN TATA CARA SHOLAT LENGKAP
(Thaharoh [Ugensi Thoharoh, Macam-macam Najis dan Cara Membersihkannya, Zat/benda yang digunakan untuk Thoharoh, Adab Buang hajat, Sunnah-sunnah Fitroh, Wudhu, Mengusap Khuf, Mandi, Tayammum, Fiqh Haid, Nifas, dan Istihadhoh] Gerakan Sholat, Bacaan Sholat, Makna & Rahasia Kandungan Sholat).

* PELATIHAN PERAWATAN JENAZAH LENGKAP
(Merawat Orang Sakit, Sakaratul Maut, Memandikan, Mengkafani, Men-sholatkan, Menguburkan, Takziah, Siksa Kubur, dan Amaliyah yang bermanfaat bagi jenazah yang disepakati ulama).

* PELATIHAN RETORIKA DAKWAH (TEKNIK PIDATO/ CERAMAH & KHUTBAH).
(Fiqh Dakwah, Fiqh Khutbah Jumat, dan Retorika).

* KURSUS BAHASA ARAB
(Nahwu, Shorof, Tashrif, Kajian Bahasa Arab al-Quran [KaBAr-Qu] Muhadatsah Fushah [Percakapan Bahasa Arab Standar], dan Terjemah Arab-Indonesia)

* KURSUS TARJAMAH AL-QUR'AN PER KATA

* PELATIHAN SEHARI (ONE DAY TRAINING) METODE MUDAH MENGUASAI KOSA KATA AL-QURAN (DENGAN TARGET MENGUASAI 50% AL-QURAN).

* KURSUS ULUMUL QUR'AN
* KURSUS ULUMUL HADIS
* KURSUS USHUL FIQH
* KURSUS FIQH ZAKAT
* KURSUS FIQH PUASA
* KURSUS FIQH MU'AMALAH
* KURSUS FIQH EKONOMI ISLAM

* MENYALURKAN WAKAF KAMUS SAKU AL-QURAN UNTUK PERPUSTAKAAN PONDOK PESANTREN, MADRASAH, DAN LEMBAGA PENDIDIKAN LAINNYA YANG MEMBUTUHKAN. BAGI PARA DERMAWAN YANG INGIN MENJADI SPONSOR WAKAF KAMUS AL-QURAN, DAPAT MENGHUBUNGI PENULIS PADA CONTACT DI ATAS.

*eL-SUNI menerima infak atau sponsorship untuk Dakwah dan Bakti Sosial di Desa-desa terpencil untuk wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah. Untuk setiap Dakwah dan Bakti sosial dilakukan selama 3 hari, 2 malam. Adapun kegiatan-kegiatan dakwah dan bakti sosial di desa-desa terpencil selama 3 hari dan 2 malam tersebut adalah
= Bazar Sembako Murah
= Pembagian Pakaian Layak Pakai
= Penyuluhan Pertanian/Perkebunan (menyesuaikan kondisi desa sasaran dakwah dan bakti sosial)
= Pengajian Akbar (target minimal 300 peserta)
= Pelatihan perawatan jezanah (target 100 peserta)
= Pelatihan tatacara cara thaharah dan tatacara shalat (target 100 peserta)
= Pelatihan Metode Mudah Menguasai Kosa Kata al-Quran
= Pelatihan guru Taman Kanak-kanak al-Quran dan Taman Pendidika al-Quran (target 50 peserta)
= Lomba-lomba untuk taman kanak-kanak al-Qur'an dan Taman Pendidikan al-Quran (target 100 peserta)
= dan berbagai kegiatan-kegiatan lain sesuai usulan warga sasaran kegiatan dan usulan donatur dan sporsorship.

NB= Banyaknya kegiatan dalam sekali kegiatan dakwah dan bakti sosial disesuaikan dengan dana yang tersedia.

* Dalam melaksanakan kegiatan dakwah dan bakti sosial, eL-SUNI bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain sesuai dengan kebutuhan.

* Dana kegiatan dapat disalurkan ke nomor rekening,
0220830510, Bank BNI Syariah Cabang Yogyakarta, a.n. Muhammad Rais

KONSULTASI SKRIPSI & TESIS UNTUK SEMUA ILMU SOSIAL DAN ILMU AGAMA ISLAM

Kamis, 16 September 2010

Manajemen Risiko Pada Bank Syariah


A.    Pendahuluan
Dalam kehidupan manusia selalu dihadapkan pada beberapa gejala, baik disebabkan alam, politik, bahkan keadaan ekonomi itu sendiri. Berbagai gejala tersebut merupakan risiko yang tak terlepas dari kehidupan manusia. Demikian juga dalam kehidupan bisnis, apakah bisnis tersebut memakai konsep bunga atau yang memakai sistem bagi hasil, yang setiap lembaga bisnis selalu berhadapan dengan risiko dan pendapatan (risk and return).
Di kalangan pelaku bisnis (businessmen), berbicara mengenai risiko merupakan pembicaraan yang tidak enak didengarkan. Hal ini disebabkan bahwa setiap pelaku bisnis tidak menginginkan terjadi risiko pada bisnisnya, tetapi sebaliknya menginginkan  keuntungan yang maksimum dan dihalalkan oleh Allah swt.. Risiko bisa terjadi kapan saja dan dimana saja. Dari beberapa risiko, kemungkinan penyebabnya adalah kelemahan seperti praktek bisnis yang monopolistis, kolusi, parasit, tertutup, kapitalis, mungkin juga faktor manajemen bisnis yang tidak mengikuti sunnatullah atau istilah lainnya tidak menerapka profesionalisme. Pesan-pesan tersebut membuktikan bahwa Islam mewajibkan profesionalisme termasuk di dalam profesionalisme menjalankan bisnis. (Sofyan S. Harahap, 2004:75).
Bank syariah adalah lembaga bisnis yang juga akan menghadapi risiko manajemen bank itu sendiri. Bahkan, kalau dicermati lebih mendalam, bank syariah merupakan bank yang sarat dengan risiko. Hal ini disebabkan bank syariah dalam prakteknya lebih banyak berhubungan dengan produk-produk yang dalam produk itu terdapat banyak risiko, tetapi risiko yang diakibatkan oleh ketidakjujuran nasabah dalam melakukan transaksi oleh karena itu, para praktisi bank harus bisa meminimalisiasi risiko pada bank itu sendiri dalam rangka memperoleh keuntungan sesuai apa yang diharapkannya. (Muhammad , 2005:357)
Oleh karena itu, diperlukan manajemen risiko untuk meminimalkan berbagai risiko yang timbul. Berikut ini dipaparkan tentang bagaimana manajemen risiko pada bank syariah. Paparan ini meliputi pengertian, bentuk-bentuk risiko pada bank syariah, manfaat manajemen risiko, tahapan-tahapan manajemen risiko, manajemen risiko pada bank syariah, dan penutup.

B.     Pengertian
Secara etimologi (bahasa) manajemen adalah penertiban, pengaturan, pengurusan, dan perencanaan (Muhammad, 2004), sedangkan secara terminologi manajemen adalah suatu aktivitas menyangkut kepemimpinan, pengarahan, pengembangan personal, perencanaan, dan pengawasan terhadap pekerjaan yang berkenaan dengan unsur-unsur pokok dalam suatu proyek.
Adapun risiko adalah kemungkinan penyimpangan dari hasil yang diharapkan (Mamduh M. Hanafi, 2005). Selain itu, ada pula yang mendefinisikan risiko sebagai ketidakpastian akan sesuatu yang mempengaruhi kesejahteraan seseorang. Risiko sangat berkaitan erat dengan return atau tingkat keuntungan, yaitu selisih antar harga jual dan harga beli, ditambah kas lain seperti dividen. Dalam pasar sempurna dan efisien, akan berlaku hukum hubungan positif antara return dan risiko. Semakin tinggi risiko, maka akan semakin tinggi tingkat keuntungan yang diharapkan, begitu pula sebaliknya.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa manajemen risiko dalam perbankan syariah adalah suatu upaya yang dilakukan oleh bank syariah untuk mengatur dan mengawasi risiko dengan tujuan meminimalisir risiko agar hasil yang ditargetkan dapat tercapai dengan cara efektif dan efisien.
Z. Dunil, 2004:82 mendefinisikan manajemen risiko sebagai serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha bank.
Ada beberapa istilah yang sering digunakan dalam manajemen risiko, yaitu:
1.      Hazard: kondisi yang berpotensial menyebabkan terjadinya kerugian.
2.      Exposure: sumber-sumber risiko.
3.      Probability: kemungkinan suatu peristiwa akan terjadi.
4.      Risk: kemungkinan kerugian akibat hazard.
5.      Risk Control: tindakan yang dirancang untuk mengurangi risiko.
6.      Risk Management: pengambilan keputusan yang rasional dalam keseluruhan proses penanganan risiko, termasuk risk assessment, sebagaimana tindakan untuk membangun dan menerapkan pilihan-pilihan kontrol risiko.
7.      Gambling: pengambilan keputusan risiko tanpa assessment yang rasional atau prudent atau keterlibatan manajemen risiko. (Muhammmad, 2005: 361. Lihat juga Zainul Arfin, 2005:212-213).
Manajemen risiko bertujuan untuk mengurangi risiko bukan untuk menghilangkan risiko. Apapun bentuk aktivitas dalam kehidupan ini, selalu berisiko. Hidup penuh risiko. Ibarat sebuah mata koin ada A dan B. A adalah keuntungan dan B adalah risiko. Tidak ada satupun aktivitas di dunia terlepas bebas dari nilai risiko. Manusia harus bersikap realistis bahwa dalam kehidupan ini segala aktivitas manusia selalu dihadapkan pada risiko, sehingga manusia sering disebut makhluk berisiko.
Akan tetapi, di sisi lain, manusia juga bersifat risk averse atau suka menghindari risiko, sehingga timbul adagium bahwa “lebih baik kehilangan seekor ayam daripada membayar pengembaliannya dengan seekor kambing”. Dengan kata lain, manusia sudah terbiasa memilih “safe position” atau posisi aman. Memang logis adanya, jika seseorang tidak ingin berisiko. Akan tetapi, hidup penuh dengan risiko. Seperti kata pepatah  “Jangan pernah terjebak pada posisi aman karena masih banyak hal baru di luar sana”. Andainya pun seseorang berada pada posisi tidak berisiko, maka akan terasa hampa karena hidup tak mengajarinya apapun juga.

C.    Bentuk-bentuk Risiko Pada Bank Syariah
  1. Risiko Kredit (Credit Risk).
Risiko Kredit adalah risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya. Dengan demikian, bank tidak memperoleh kembali cicilan pokok dan atau bunga dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan.
Menurut Muhammad, 2004:131, risiko kredit adalah bank tidak memperoleh kembali cicilan pokok dan atau bunga dari pinjaman yang diberikan atau investasi yang sedang dilakukan. Penyebab utama terjadinya risiko kredit adalah terlalu mudahnya bank memberikian pinjaman atau melakukan investasi karena terlalu dituntut untuk memanfaatkan kelebihan likuiditas, sehingga penilaian kredit kurang cermat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan risiko usaha yang dibiayai.
Menurut Z. Dunil, 2004:125-126, risiko kredit adalah risiko yang terjadi akibat kegagalan pihak lawan (counter party) memenuhi kewajibannya. Ririko kredit dapat bersumber dari berbagai aktivitas fungsional bank seperti perkreditan (penyediaan dana), tresuri dan investasi, dan pembiayaan perdagangan, yang tercatat dalam banking book maupun trading book.
  1. Risko Pasar (Market Risk)
Risiko pasar adalah risiko yang timbul karena adanya pergerakan variable pasar dari portofolio milik bank yang dapat merugikan bank (adverse movement). Yang dimaksud dengan variable pasar adalah suku bunga dan nilai tukar, termasuk derivasi dari kedua jenis risiko pasar tersebut yaitu perubahan harga options. Risiko pasar antara lain terdapat aktivitas fungsional bank seperti kegiatan tresuri dan investasi dalam bentuk surat berharga dan pasar uang maupun penyertaan pada lembaga keuangan lainnya, penyediaan dana (pinjaman dan bentuk sejenis), dan kegiatan pendanaan dan penerbitan surat utang, serta kegiatan pembiayaan perdagangan. (Z. Dunil, 2004: 127).
  1. Risiko Likuiditas (Liquidity Risk)
Risiko likuiditas yaitu risiko yang antara lain disebabkan karena bank tidak mampu menyelesaikan kewajiban yang telah jatuh tempo. Risiko likuiditas dapat dikategorikan sebagai 1) risiko likuiditas pasar yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu melakukan offsetting posisi tertentu dengan harga pasar karena kondisi likuiditas pasar yang tidak memadai atau terjadi gangguan di pasar (market disruption); 2) risiko luiditas pendanaan yaitu risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan asetnya atau memperoleh dana dari sumber dana lain. (Z. Dunil, 2004:126).
Risiko likuiditas dapat melekat pada aktivitas fungsional perkreditan (penyediaan dana), tresuri dan investasi, kegiatan pendanaan dan investmen utang. Pengelolaan likuiditas sangat penting karena kekurangan likuiditas dapat mengganggu bukan hanya bank yang bersangkutan, tetapi system perbankan secara keseluruhan. (Z. Dunil, 2004:126).
  1. Risiko Operasional (Operational Risk)
Risiko operasional adalah risiko yang antara lain disebabkan oleh ketidakaktifan atau tidak berfungsinya proses internal, problem eksternal sistem operasi atau kegagalan system dan kesalahan manusia (Human Error).
Menurut Michel Crouhy, Galai, dan Robert Mark risiko operasional adalah risiko yang berkaitan dengan operasional bisnis. Menurut mereka ada dua komponen dalam risiko, 1) risiko kegagalan operasional (operational failure risk) atau risiko internal terdiri dari risiko yang bersumber dari SDM, proses, dan teknologi; 2) risiko strategi operasional (operational strategic risk) atau risiko eksternal yang berasal dari factor antara lain politik, pajak regulasi, masyarakat, dan kompetisi. (Kompas, Jumat, 23 Mei 2003:27).
Menurut Z. Dunil, 2004:126-127, Risiko operasional adalah 1) risiko yang antara lain disebabkan ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal, kesalahan manusia, kegagalan system, atau adanya problem ekternal yang mempengaruhi operasional bank; 2) risiko operasional dapat menimbulkan kerugian secara langsung maupun tidak langsung dan kerugian potensial atas hilangnya kesempatan memperoleh keuntungan; 3) risiko operasional dapat melekat pada setiap aktivitas fungsional bank, seperti perkreditan (penyediaan dana), tresuri dan investasi, operasional dan jasa, pembiayaan perdagangan, pendanaan, dan instrument ulang, teknologi system informasi dan system informasi manajemen dan pengelolaan sumber daya manusia.
  1. Risiko Hukum (Legal Risk)
Menurut Z. Dunil, 2004:125, risiko hukum adalah risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain karena adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan, seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontrak, dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
  1. Risiko Reputasi (Reputation Risk).
Risiko reputasi adalah risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank atau persepsi negative terhadap bank. (Z. Dunil, 2004:127).
  1. Risiko Strategis (Strategic Risk).
Risiko strategis adalah risiko yang timbul antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi bank yang tidak tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya bank terhadap perubahan eksternal. (Z. Dunil, 2004:127).
  1. Risiko Kepatuhan (Compliance Risk).
Risiko kepatuhan adalah risiko yang disebabkan bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku. Pada prakteknya risiko kepatuhan melekat pada risiko bank yang terkait peraturan perundang-undangan dan ketentuan lainnya yang berlaku seperti risiko kredit terkait dengan ketentuan kewajiban pemenuhan modal minimum (KPMM), Kualitas Aktiva produktif, Pembentukan Penyisihan Aktiva Produktif (PPAP), Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), risiko pasar terkait dengan ketentuan Prosisi Devisa Neto (PDN), risiko strategic terkait dengan Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) bank, dan risiko lainnya yang terkait dengan ketentuan-ketentuan tertentu. (Z. Dunil, 2004:125).

D.    Manfaat Manajemen Risiko
Manajemen risiko mempunyai tujuan tunggal yaitu meminimalkan risiko atau mengurangi risko, yang meliputi beberapoa manfaat yaitu: (Paul Sutaryo, 2003).
  1. mampu memberikan informasi dan pandangan kepada manajemen tentang semua jenis dan klasifikasi profil risiko, perubahan produk dan pangsa pasar dan lingkungan bisnis. (Arry Basuseno, 2004).
  2. mampu menyampaikan isu sentral tentang formulasi kebijakan manajemen risiko dan review-nya.
  3. mampu menghitung dan mengukur besarnya risk exposure.
  4. mampu menetapkan alokasi sumber-sumber dana sekaligus limit risiko dengan lebih tepat.
  5. mampu menghindari konsentrasi portofolio yang berlebihan.
  6. mampu membuat cadangan yang memadai untuk mengantisipasi risiko yang sudah diukur dan dihitung.
  7. mampu menghindari potensi kerugian yang relative besar. (Robert Tampubolon, 2004).

E.     Tahapan-tahapan Manajemen Risiko
Dalam manajemen risiko terdapat tahapan-tahapan proses yang secara umum terdiri dari empat tahap yaitu:
  1. Mengidentifikasi Risiko (Identification).
Identifikasi risiko artinya mempertimbangkan semua aspek dari situasi saat ini dan yang akan datang, lingkungan dan masalah yang secara historis sudah ada. Pengidentifikasian risiko harus dilakukan secara keseluruhan. Semboyannya “pikirkanlah yang terjadi sekecil apapun kemungkinannya”.
Adapun tahapannya adalah sebagai berikut:
·         Identifikasi sumber risiko.
·         Identifikasi akibat risiko.
·         Tentukan langkah-langkah mitigasi atau mengurangi risiko.
  1. Menaksir Risiko (Risk Measurement).
Berdasarkan hasil identifikasi risiko, maka akan dapat menganalisis risiko, bagaimana dan seberapa besar kemungkinannya. Hasil akhir dari tahap ini adalah munculnya perincian kategori risiko.
Ada lima macam kategori risiko, yaitu: (Muhammad, 2005).
1)      potensi paling rendah atau residual risk (kurang dari 2%).
2)      Potensi risiko rendah atau low risk (2-5%).
3)      Potensi risiko sedang atau medium risk (5-10%).
4)      Potensi risiko tinggi atau high risk (10-20%
5)      Potensi risiko paling tinggi atau extremely high risk (lebih dari 20%).
Level-level risiko yang diperoleh dari matriks tersebut bersifat fleksibel dan bervariasi antar perusahaan yang satu dengan yang lainnya, tergantung pada sifat dasar dari operasi dan kemauan perusahaan untuk menerima risiko. (Zainul Arifin, 2006).
  1. Menanggapi Risiko (Risk Response).
Setelah diketahui jenis risiko apa dan seberapa besar akibat yang kemungkinan akan dihadapi, maka langkah berikutnya adalah merespon risiko tersebut dengan tujuan menguranginya. Ada beberapa cara merespon atau menanggapi risiko, yaitu:
1)      mengembangkan teknologi informasi.
2)      Mengurangi transaksi yang menjadi sumber risiko.
3)      Menyususn kebijakan dan prosedur yang ketat dan rinci.
4)      Membangun kepekaan Sumber Daya Manusia terhadap budaya risiko.
5)      Mengurangi risiko dengan melalui asuransi dan lindung nilai (Hedging).
  1. Mengawasi Risiko (Risk Monitoring). (Adiwarman A. Karim, 2005).
Langkah berikutnya adalah mengawasi atau memantau risiko. Dalam rangka mencapai kesuksesan dalam pengawasan, haruslah ditemukan standar metode tertentu untuk melakukan pendekatan secara menyeluruh dan kebijakan umum harus dipertahankan untuk memastikan integritas.
Dalam pemantauan data, biasanya bank memakai RMIS (Risk Management Information System) yang berbasis teknologi informasi tinggi (IT). RMIS bermanfaat untuk memantau dan menganalisis risiko. Mengingat biaya yang tinggi, maka bank memantau secara manual. Tak ada rotan akarpun jadi. Selain RMIS, adapula sistem lain yang digunakan untuk memantau risiko, antara lain SPO (Standar Prosedur Operasional) untuk membantu melakukan inspeksi kas, Dual Costudy System atau pengamanan uang kas cadangan selama jam kerja, Dual Lock System atau pengamanan uang kas cadangan selama di luar jam kerja, serta penggunaan Password atau Mater-Key untuk program atau prosedur tertentu. (Paul Sutaryo, 2003).
  1. Supervisi dan Evaluasi.
Setiap program manajemen risiko secara berkesinambungan harus ditinjau dan diperbaharui. Program tersebut tidak bisa hanya ditulis sebagai doktrin lalu dilupakan. Merupakan tanggung jawab manajemen untuk memastikan bahwa standar minimum telah diikuti dan standar maksimum telah dicapai. Bila ditemukan sesuatu yang tidak direncanakan, maka program tersebut harus dievaluasi dan dihentikan.
Adapun Zainul Arifin, 2005:213-216, mengemukakan tahapan-tahapan manajemen risiko khususnya risiko operasional dengan cara 1) menidentifikasi hazard; 2) menaksir risiko; 3) menganalisis kadar pengawasan risiko; 4) membuat keputusan pengawasan risiko; 5) membuat keputusan pengawasan risiko; 6) menerapkan pengawasan; dan 7) supervise dan evaluasi.

F.     Manajemen Risiko Pada Bank Syariah
Dalam perbankan syariah, terdapat dua jenis pembiayaan yaitu pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts (NCC) dan Natural Uncertainty Contracts (NUC). Kedua jenis pembiayaan ini juga tidak luput dari adanya risiko yang mungkin terjadi dalam operasionalnya, yang pada saat tingkat risiko yang terjadi di bank syariah tersebut akan berbeda-beda, yang disebabkan dari segi pembiayaan yang berbeda pula, tergantung besar kecilnya pembiayaan dan akad satu dengan yang lainnya. Dalam rangka meminimalisasi sebuah risiko, bank syariah harus selalu bersifat selektif terkait dalam pembiayaan suatu produknya.
a.       Risiko pada pembiayaan berbasis Natural Certainty Contracts
Pembiayaan berbasis NCC ini adalah pembiayaan bank Islam yang dapat memberikan perolehan (hasil) tetap. Pembiayaan ini teraplikasi pada produk-produk yang bertekad jual beli (tijarah) dan sewa-menyewa (ijarah). Misalnya, pada transaksi produk murabahah yang merupakan pembiayaan jual beli dengan sistem mark-up atas harga pokok yang pembayarannya dikemudian hari sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dalam akadnya, baik dalam bentuk tunai (lump sum) atau dalam bentuk angsuran (kredit). Adapun risiko yang mungkin terjadi di antaranya adalah jika pembiayaan murabahah diberikan dalam jangka waktu yang panjang akan menimbulkan risiko tidak bersaingnya bagi hasil kepada dana pihak ketiga. Risiko seperti ini timbul disebabkan 1) kenaikan DCRM (Direct Competitor’s Market Rate); 2) Kenaikan ICRM (Inderct Competitor’s Market Rate); 3) Kenaikan ERCI (Expected Competitive Return for Investor’s). (Adiwarman A. Karim, 2004: 244).
Oleh karena itu, bank dapat menetapkan jangka waktu maksimal untuk pembiayaan murabahah dengan mempertimbangkan beberapa hal berikut:
a)      Tingkat (margin) keuntungan saat ini dan diprediksi perubahannya di masa mendatang yang berlaku di pasar perbankan syari’ah (DCRM). Semakin cepat perubahan DCRM diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.
b)      Suku bunga  kredit saat ini dan diprediksi perubahannya di masa yang akan berlaku di pasar perbankan konvensional (ICRM). Semakin cepat perubahan ICRM diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan.
c)      Ekpeksi bagi hasil kepada dana pihak ketiga yang kompetitif di pasar perbankan syariah (ECRI). Semakin besar perubahan ECRI diperkirakan akan terjadi, semakin pendek jangka waktu maksimal pembiayaan. (Ibid).
Pada produk ijarah yang merupakan pembiayaan dalam bentuk sewa-menyewa yang dapat berakhir menjadi kepemilikan (Ijarah al-Muntaha bit-Tamlik) (Antonio, 2001:118), risiko yang mungkin terjadi adalah seperti:
1)      Dalam hal barang yang disewakan adalah milik bank, timbul risiko tidak produktifnya aset ijarah karena tidak adanya nasabah, dalam hal ini merupakan business risk yang tidak dapat dihindari.
2)      Dalam hal barang yang disewakan bukan milik bank, timbul risiko rusaknya barang oleh nasabah di luar pemakaian normal.
3)      Dalam hal jasa tenaga kerja yang disewakan bank yang kemudian disewakan kepada nasabah, timbul risiko tidak perform-nya pemberi jasa. (Adiwarman Karim, 2004: 244).
b.      Risiko Pembiayaan berbasis Natural Uncertainty Contracts
Pada pembiayaan berbasis NUC ini merupakan pembiayaan bank Islam yang dapat memberikan perolehan (hasil) tidak tetap. Pembiayaan ini merupakan pembiayaan yang mengandung risiko paling besar dengan prinsip bagi hasil, sehinggga para pelaku bisnis khususnya di sini adalah perbankan syariah perlu melakukan upaya-upaya pencegahan dan selektif dalam pembiayaan bagi hasil ini pada bank syariah umumnya teraplikasi dalam dua produk yaitu musyarakah dan mudharabah yang keduanya juga memungkinkan adanya risiko. Ciri khas pembiayaan musyarakah dan mudharabah yang menuntut saling percaya yang tinggi antara nasabah dengan bank, kenyataan ini menjadikan pembiayaan musyarakah dan mudharabah sebagai pembiayaan yang berisiko tinggi, karena bank syariah akan selalu menghadapi permasalahan asymmertric information biasanya berbentuk moral hazard dan adverse selection (etika pengusaha yang secara melekat tidak dapat diketahui oleh pemilik modal). (Muhammad, 2005:367).
Sejauh ini bank syariah dalam akad musyarakah dan mudharabah sering mengalami moral hazard, tetapi dalam perbankan Islam belu sepenuhnya mengembangkan sebuah system perjanjian yang memfasilitasi kemitraan ekuitas antara pemberi pinjaman (bank) dan peminjam (mudharib) seraya memonitor biaya pada tingkat yang laik dan menghilngkan isu-isu moral hazard yang muncul ketika pemberi pinjaman dan investor mempunyai informasi yang tidak simetris (asymmetric information) tentang laba dari usaha investasi.
Untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko asymmetric information dan moral hazard, maka bank Islam harus menerapkan metode acreening dan  menerapkan kovenan (klausul-klausul) tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib, batasan-batasan ini dkenal sebagai incentive-compatible constraims. (Adiwarman Karim, 2004:202).
Melalui cara ini mudharib secara sistematis “dipaksa” untuk berprilaku memaksimalkan keuntungan bagi kedua belah pihak, baik bagi mudharib maupun shahib al-maal. Oleh karena besarnya risiko pada jenis bagi hasil, maka bank syariah sedikit sekali yang menyalurkan produk musyarakah dan mudharabah. Akan tetapi, pembiayaan dialihkan pada metode lain, seperti leasing terhadap permodalan barang-barang atau meningkatkan jaringan dalam hal perdagangan (tijarah).
Pada dasarnya, ada empat panduan umum bagi incentive-compatible constraits, di antaranya:
1)      menetapkan kovenan (klausul-klausul) agar porsi dari pihak mudharib-nya lebih besar dan atau mengenakan jaminan (higher stake in net worth and or collateral). Dalam ketentuan fiqh, akad musyarakah dan mudharabah tidak diperbolehkan menggunakan jaminan (guarantee). Jaminan dapat diminta oleh shahibul mal (bank) jika proyek yang dikembangkan menunjukkan tanda-tanda tidak baik. Jika demikian, maka jaminan menjadi penting untuk mendeteksi bank Islam dari beberapa kejadian-kejadian buruk. (Muhammad, 2003:123). Menurut Karim, syarat-syarat yang harus diterapkan adalah:
a)      penetapan nilai maksimal rasio hutang terhadap modal.
      Bila porsi modal mudharib dalam suatu usaha relative tinggi, maka inisiatifnya untuk berlaku tidak jujur akan berkurang dengan signifikan, karena ia juga akan menanggung kerugian atas tindakannya tersebut.
b)      Penetapan agunan berupa fixed asset.
      Penggunaan jaminan juga akan mencegah mudharib melakukan penyelewengan karena jaminan yang sudah diberikannya itu menjadi harga dari penyelewengan perilakunya (character risk).
c)      Penggunaan pihak penjamin.
      Seringkali bank tidak mengenal karakter calon mudharib. Menanggapi situsai ini, bank dapat saja meminta jaminan (orang) yang mengenal dekat calon mudharib.
d)     Penggunaan pihak pengambil alih hutang.
      Dalam beberapa kasus, pihak penjamin bersedia mengambil alih kewajiban calon mudharib bila terjadi kerugian yang disebabkan character risk calon mudharib.
2)      Menetapkan kovenan (klausul-klausul) agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasionalnya lebih rendah (low operating risk). Dengan penerapan syarat-syarat berikut:
a)      penetapan rasio maksimum fixed asset terhadap total asset.
      Hal ini dimaksudkan agar dana musyarakah atau mudharabah tidak digunakan untuk investasi pada fixed asset secara berlebihan.
b) penetapan rasio maksimum biaya operasional terhadap pendapatan operasi (ibid:191).
3) Menetapkan kovenan (klausul-klausul agar mudharib melakukan bisnis dengn arus kas yang transparan (lower fraction unobservable cash flow), maka syarat yang dapat diterapkan menurut Karim adalah:
a) Monitoring secara acak.
Hal ini dapat dilakukan dengan metode inspeksi mendadak (sidak) untuk mengatasi adanya arus kas yang tidak masuk ke kas negara.
b) Monitoring secara periodik.
Dalam metode ini, mudharib didorong untuk menciptakan laporan perperiodik atas bisnis yang dibiayai oleh bank.
c) laporan keuangan yang diaudit, pada metode ini, laporan tersebut akan diperiksa kebenarannya oleh pihak ketiga (auditor), sehingga si pemilik dana benar-benar yakin bahwa yang disampaikan tersebut benar adanya.
4) menetapkan kovenan (klausul-klausul) agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah (lower fraction of non-countrollable costs).
Syarat-syarat yang dapat diterapkan adalah:
a)  Revenue sharing.
b)      Penetapan minimal profit marjin.
Syarat-syarat di atas merupakan salah satu strategi (manajemen) perbankan syariah dalam pembiayaan yang berprinsip bagi hasil (PLS), sehingga issu asymmetric information dan moral hazard dapat diminimalisasikan. Akan tetapi, menurut Homoud, seorang teoritikus perbankan Islam menyatakan tentang penggunaan pembiayaan dengan prinsip bagi hasil (PLS).
Bank-bank Islam mempraktekkan musyarakah dan mudharabah dengan perhatian sepenuhnya. Bank-bank tersebut mendapatkan kepercayaan yang luar biasa dari orang-orang. Akan tetapi, tidak adanya hukum dalam negara Islam yang mengatur hubnungan antara investor dan mudharib berakibat tidak dapat menghalangi mudharib dari penyalahgunaan dana dengan seribu macam cara yang tidak sah menurut hukum. Dampak negatifnya adalah penggunaan bank syariah dari metode pembiayaan ini menjadi turun secara drastis dan berupaya mengalokasikan ke dalam metode pembiayaan lainnya yang sebenarnya tidak akan membantu merealisasikan tujuan dari syariat. (Abdullah Saeed, 1996:70).
Pada awal dekade 1960-an hingga 1970-an bank syariah yang notabnene-nya lembaga keuangan, berusaha menerapkan kedua sistem musyarakah dan mudharabah dalam menginvestasikan dana-dananya kepada para pengusaha (partner). Akan tetapi, dengan tingkat risiko yang sangat tinggi dan mengalami kasus kerugian pada kedua pembiayaan tersebut, maka bank-bank Islam membatasi penggunaan musyarakah dan mudharabah secara drastis (ibid:69). Hal ini dapat diamati pada perbankan Islam baik di luar negeri maupun yang ada di Indonesia. Bank syariah dalam menggunakan pembiayaan musyarakah dan mudharabah ini dalam skala kecil dengan jangka waktu yang pendek, tampaknya dengan pembiayaan skala kecil dan jangka waktu pendek tersebut dalam prakteknya dijalankan hampir bebas risiko (risk free).
Model pembiayaan musyarakah dan mudharabah bisa saja sesederhana mungkin atau bahkan bisa menjadi rumit dan terbatas atau tidak terbatas. Model sederhana bisa terdiri atas dua pihak yang mengadakan perjanjian (mudharib dan shahib al-mal) atau bias lebih dari satu orang. Model yang rumit bisa mengambil beberapa bentuk, misalnya, investor bisa sebuah kemitraan atau pekerjanya juga sebuah kemitraan. Khususnya pada mudharabah jenis yang tidak terbatas atau absolut adalah  yang modalnya diserahkan dan tidak ditentukan jenis pekerjaannya, tidak juga ditentukan lokasi atau waktu atau kualitas kerja atau dengan siapa dia berdagang, jenis yang pembiayaan terbatas adalah sebagian atau semua hal tersebut ditentukan. Jenis pembiayaan seperti hal-hal inilah yang sangat dimungkinkan akan terjadi risiko.
Berbagai persoalan yang terjadi dalam penggunaan profit and loss sharing (bagi untung dan rugi) dan keengganan investor menginvestasikan danannya, hal ini disebabkan bank Islam dalam memainkan operasionalnya sangtlah lemah. Memang dalam bank Islam PLS yang paling umum digunakan untk model pendanaan yang islami. Akan tetapi, ia tidak murni “bagi-rugi” (lost sharing) dilihat dari sudut pandang ekonomi, karena pemilik modal (shahib al-mal) adalah mitra yang kehilangan modal, sementara yang lainnya hanya kehilangan usahanya. (Mervyn Lativa, 2003:65).
Menurut beberapa pengamat perbankan syariah, lemahnya operasional dalam perbanka syariah disebabkan beberapa hal:
1)      Standar modal, terdapat asumsi bahwa standar moral yang berkembang di kebanyakan komunitas muslim tidak memberi kebebasan penggunaan PLS sebagai mekanisme investasi. Hal ini berdasarkan argumentasi yang mendorong bank untuk untuk mengadakan pemantauan lebih intensif terhadap setiap investasi yang diberikan, sehingga membuat perbankan berjalan tidak ekonomis dan tidak efisien.
2)      Ketidakefektifan model pembiayaan PLS, disebabkan tidak dapat melayani berbagai macam kebutuhan pembiayaan dari ekonomi kontemporer.
3)      Berkaitan dengan pengusaha, bank syariah lebih banyak terlibat langsung dengan pengusaha, mencari informasi yang sedetail mungkin, bahkan turut mempengaruhi setiap pengambilan keputusan bisnis parnert-nya, sehingga pengusaha merasa kurang bebas dalam kegiatan bisnisnya. Memang pengawasan dan pemantauan yang ketat diperbolehkan oleh pihak bank Islam, namun bagi partner (mudharib) dapat menimbulkan kekhawatiran tersingkapnya rahasia perusahaan.
4)      Dari segi pembiayaan,teknis, dan efisiensi. (Ibid:128).

G.    Penutup
Dari pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa bank Islam dengan prinsip PLS, laiknya sebuah lenbaga bisnis dalam perekonomian juga sarat akan risiko yang bisa terjadi kapan saja dan dimana saja, sehingga untuk meminimalisasi terjadinya risiko tersebut para pengelola bank Islam dituntut untuk bekerja secara profesional dengan prinsip prudent, selektif dan penerapan manajemen yang baik, terutama pada manajemen operasionalnya. Dengan hanya melalui manajemen risiko yang baik sebagaimana yang terformulasikan di atas, manfaat dari tujuan utama manajemen risiko tersebut akan dapat terealisasikan, kendatipun sebuah risiko pada bank Islam tidak mungkin dihilangkan.















Daftar Pustaka

Antonio, Syafi’i, Bank Islam: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2001

Arifin, Zainul, Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah, Edisi Revisi, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006

Basuseno, Arry, “Manajemen Risiko Menjamin Pertumbuhan Ekonomi yang Sehat”, dalam Kompas, Rabu 19 November 2004

Crouhy, Michel dkk., “Manajemen Risiko Operasional”, dalam Kompas, Jumat, 23 Mei 2003

Dunil, Z., Kamus Istilah Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004

Hanafi, Mamduh M., Manajemen Keuangan, Jakarta: Salemba Empat, 2005

Karim, Adiwarman A., Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, Edisi II, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2004

Lewis, Mervyn K., dan LAtiva M. Algaoud, Perbankan Syari’ah: Prinsip, Praktik, dan Prospek, terj. Burhan Wirasubrata, Cet. I, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2003

Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah: Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam (PSEI), 2003

-------, Manajemen Dana Bank Syari’ah, Cet. I, Yogyakarta: Ekonisia, 2004

-------, Manajemen Bank Syar’iah, Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UUP), 2005

Robert Tampubolon, Menakar Kesaktian Manajemen Risiko, dalam Kompas, Sabtu 1 Mei, 2005



Saeed, Abdullah, Islamic Banking and Interest: a Study of The Prohibition of Riba and its Contemprary Interpretation, Leiden; New York; Koln; Brill, 19961996

Sutaryono, Paul, Manajemen Risiko Operasional dan Upaya Mengatasi Pembobolan Bank, dalam Kompas, Jum’at, 23 Mei 2004

1 komentar: