PELATIHAN, KURSUS, DAN KONSULTASI

LEMBAGA STUDI UMAT NURUL IMAN (eL-SUNI), YOGYAKARTA
"Mantapkan Iman dengan Ilmu Pengetahuan"

Alamat: Jl. Besi-jangkang, KM 3,5, Belakang Puskesmas Ngemplak 2, Banglen, Widodomartani, Ngemplak, Sleman, Yogyakarta, di Samping Penjahit Sri Rejeki (a.n. Muhammad Rais Ramli, M.S.I., M.S.I. Telp./WA/Telegram: 0815-7885-6972; PIN BB: D02A5AB9; E-Mail: Mrais17@yahoo.com; YM: Mrais17).

PELATIHAN & KURSUS
* PELATIHAN TATA CARA SHOLAT LENGKAP
(Thaharoh [Ugensi Thoharoh, Macam-macam Najis dan Cara Membersihkannya, Zat/benda yang digunakan untuk Thoharoh, Adab Buang hajat, Sunnah-sunnah Fitroh, Wudhu, Mengusap Khuf, Mandi, Tayammum, Fiqh Haid, Nifas, dan Istihadhoh] Gerakan Sholat, Bacaan Sholat, Makna & Rahasia Kandungan Sholat).

* PELATIHAN PERAWATAN JENAZAH LENGKAP
(Merawat Orang Sakit, Sakaratul Maut, Memandikan, Mengkafani, Men-sholatkan, Menguburkan, Takziah, Siksa Kubur, dan Amaliyah yang bermanfaat bagi jenazah yang disepakati ulama).

* PELATIHAN RETORIKA DAKWAH (TEKNIK PIDATO/ CERAMAH & KHUTBAH).
(Fiqh Dakwah, Fiqh Khutbah Jumat, dan Retorika).

* KURSUS BAHASA ARAB
(Nahwu, Shorof, Tashrif, Kajian Bahasa Arab al-Quran [KaBAr-Qu] Muhadatsah Fushah [Percakapan Bahasa Arab Standar], dan Terjemah Arab-Indonesia)

* KURSUS TARJAMAH AL-QUR'AN PER KATA

* PELATIHAN SEHARI (ONE DAY TRAINING) METODE MUDAH MENGUASAI KOSA KATA AL-QURAN (DENGAN TARGET MENGUASAI 50% AL-QURAN).

* KURSUS ULUMUL QUR'AN
* KURSUS ULUMUL HADIS
* KURSUS USHUL FIQH
* KURSUS FIQH ZAKAT
* KURSUS FIQH PUASA
* KURSUS FIQH MU'AMALAH
* KURSUS FIQH EKONOMI ISLAM

* MENYALURKAN WAKAF KAMUS SAKU AL-QURAN UNTUK PERPUSTAKAAN PONDOK PESANTREN, MADRASAH, DAN LEMBAGA PENDIDIKAN LAINNYA YANG MEMBUTUHKAN. BAGI PARA DERMAWAN YANG INGIN MENJADI SPONSOR WAKAF KAMUS AL-QURAN, DAPAT MENGHUBUNGI PENULIS PADA CONTACT DI ATAS.

*eL-SUNI menerima infak atau sponsorship untuk Dakwah dan Bakti Sosial di Desa-desa terpencil untuk wilayah Propinsi D.I. Yogyakarta dan Propinsi Jawa Tengah. Untuk setiap Dakwah dan Bakti sosial dilakukan selama 3 hari, 2 malam. Adapun kegiatan-kegiatan dakwah dan bakti sosial di desa-desa terpencil selama 3 hari dan 2 malam tersebut adalah
= Bazar Sembako Murah
= Pembagian Pakaian Layak Pakai
= Penyuluhan Pertanian/Perkebunan (menyesuaikan kondisi desa sasaran dakwah dan bakti sosial)
= Pengajian Akbar (target minimal 300 peserta)
= Pelatihan perawatan jezanah (target 100 peserta)
= Pelatihan tatacara cara thaharah dan tatacara shalat (target 100 peserta)
= Pelatihan Metode Mudah Menguasai Kosa Kata al-Quran
= Pelatihan guru Taman Kanak-kanak al-Quran dan Taman Pendidika al-Quran (target 50 peserta)
= Lomba-lomba untuk taman kanak-kanak al-Qur'an dan Taman Pendidikan al-Quran (target 100 peserta)
= dan berbagai kegiatan-kegiatan lain sesuai usulan warga sasaran kegiatan dan usulan donatur dan sporsorship.

NB= Banyaknya kegiatan dalam sekali kegiatan dakwah dan bakti sosial disesuaikan dengan dana yang tersedia.

* Dalam melaksanakan kegiatan dakwah dan bakti sosial, eL-SUNI bekerjasama dengan lembaga-lembaga lain sesuai dengan kebutuhan.

* Dana kegiatan dapat disalurkan ke nomor rekening,
0220830510, Bank BNI Syariah Cabang Yogyakarta, a.n. Muhammad Rais

KONSULTASI SKRIPSI & TESIS UNTUK SEMUA ILMU SOSIAL DAN ILMU AGAMA ISLAM

Rabu, 15 September 2010

Riba dalam al-Qur’an dan Perspektif Pemikiran Ulama


I.       Pendahuluan
Sesuai dengan judul, makalah ini hanya membahas tentang riba dalam al-Qur’an dan perspektif pemikiran ulama. Berdasarkan tema ini, maka makalah ini hanya menjelaskan tentang pengertian riba dan pembagiannya, kemudian konsep riba dalam al-Qur’an, dan dilanjutkan dengan riba dalam perspektif para ulama.

II.    Pengertian dan Pembagiannya
Kata الربا secara etimologis (bahasa) berarti الزيادة ‘pertambahan’; ربا الشيء artinya زاد عما كان عليه, bertambah dari kuantitas sebelumnya.[1] Dalam kamus al-Munawwir dikemukakan bahwa asal kata ini adalah raba yarbu rabwan wa rabaan wa rubuwwan yang berarti ‘bertambah’, ‘tumbuh’ ‘bertambah besar’, dan ‘mendaki’,.[2]
Abdullah Saeed menjelaskan bahwa kata riba berasal dari akar kata r-b-w yang digunakan dalam al-Qur’an sebanyak dua puluh kali. Istilah riba sendiri digunakan delapan kali. Akar kata r-b-w bermakna ‘tumbuh’ (growing) seperti dalam Q.S. al-Hajj [22]: 5, ‘menyuburkan’ atau ‘peningkatan’ (increasing) seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 276 dan Q.S. al-Rum [30] : 39, ‘mengembang’ atau ‘meningkat’ (rising) seperti dalam Q.S. al-Isra’ [17]: 24; dan al-Syu’ara’ [26]: 18, ‘mengasuh’ atau ‘bertambah’ (swelling) seperti dalam Q.S. al-Ra’d [13]:17, ‘menjadi besar dan banyak’ (being big and great) seperti dalam Q.S. al-Nahl [16]: 92, ‘dataran tinggi’ (hillock) seperti dalam Q.S. al-Baqarah [2]: 265 dan al-Mukminun [23]:50.[3]
Menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara batil. Ada beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, tetapi secara umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam-meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam.[4]
Menurut istilah ilmu fiqh, riba adalah tambahan khusus yang dimiliki salah satu dari dua pihak yang terlibat tanpa imbalan tertentu. Yang dimaksud dengan tanbahan di sini adalah tambahan kuantitas dalam penjualan aset yang tidak boleh dilakukan dengan perbedaan kuantitas (tafadul), yaitu penjualan barang-barang riba fadal berupa emas, perak, gandum, kurma, jewawut, garam, dan segala komoditi yang disetarakan dengan keenam komoditi tersebut.[5]
Menurut Abd al-Rahman al-Jaziri, para ulama sependapat bahwa tambahan atas sejumlah pinjaman ketika pinjaman itu dibayar dalam tenggang waktu tertentu adalah riba.[6]
Makna tambahan lainnya adalah tambahan dalam hutang yang harus dibayar karena tertunda pembayarannya seperti bunga hutang. Tambahan yang ditentukan dalam waktu penyerahan barang berkaitan dengan penjualan aset yang mengharuskan adanya penyerahan langsung. Jika emas dijual dengan perak atau Junaih dengan Dolar, maka harus ada serah terima secara langsung.[7]
Penjelasan tentang makna “tambahan” di atas juga dikemukakan lebih rinci oleh Muhammad Syafi’i Antonio dengan menjelaskan jenis-jenis riba. Menurutnya, secara garis besar, riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba qard dan riba jahiliyah. Kelompok kedua, riba jual-beli, terbagi menjadi riba fadl dan riba nasi’ah. Riba qard adalah mengambil manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtarid). Adapun riba jahiliyyah adalah hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan. Riba fadl adalah pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi. Riba nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.[8]
Mengenai pembagian dan jenis-jenis riba, Ibnu Hajar al-Haitsami berkata: “Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba fadl, riba al-yad, dan riba al-nasiah. Al-Mutawalli menambahkan jenis keempat yaitu riba al-qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al-Qur’an dan hadis Nabi saw.”.[9]
Selain ulama di atas, terdapat beberapa ulama yang mengemukakan konsep riba sebagai berikut:[10]
1.   Badr Ad-Din Al-Ayni, pengarang Umdatul Qari Syarah Shahih Al Bukhari: “Prinsip utama dalam ribâ adalah penambahan. Menurut syariah, ribâ berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riel.”
2.   Imam Sarakhsi dari mazhab Hanafi: “Ribâ adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya iwadh (atau padanan yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut.”
3.   Raghib Al Asfahani: “Ribâ adalah penambahan atas harta pokok.”
4.   Imam An-Nawawi dari mazhab Syafi’i: Dari penjelasan Imam Nawawi di atas sangat jelas bahwa salah satu bentuk ribâ yang dilarang al-Qur’an dan As Sunnah adalah penambahan atas harta pokok karena unsur waktu. Dalam dunia perbankan hal tersebut dikenal dengan bunga kredit sesuai lama waktu pinjaman
5.   Qatadah: “Ribâ jahiliyah adalah seseorang yang menjual barangnya secara tempo hingga waktu tertentu. Apabila telah datang saat pembayaran dan si pembeli tidak mampu membayar, maka ia memberikan bayaran tambahan atas penangguhan.”
6.   Zaid bin Aslam: “Yang dimaksud dengan ribâ jahiliyyah yang berimplikasi pelipat-gandaan sejalan dengan waktu adalah seseorang yang memiliki piutang atas mitranya. Pada saat jatuh tempo ia berkata: ‘bayar sekarang atau tambah.’”
7.   Mujahid: “Mereka menjual dagangannya dengan tempo. Apabila telah jatuh tempo dan (tidak mampu bayar) si pembeli memberikan ‘tambahan’ atas tambahan waktu.”
8.   Ja’far Ash-Shadiq dari kalangan Syiah: Ja’far Ash-Shadiq berkata ketika ditanya mengapa Allah swt. mengharamkan ribâ – “Supaya orang tidak berhenti berbuat kebajikan. Karena ketika diperkenankan untuk mengambil bunga atas pinjaman, maka seseorang tidak berbuat ma’ruf lagi atas transaksi pinjam-meminjam dan sejenisnya. Padahal qard bertujuan untuk menjalin hubungan yang erat dan kebajikan antarmanusia.”
9.   Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali: “Imam Ahmad bin Hanbal ketika ditanya tentang ribâ beliau menjawab: Sesungguhnya ribâ itu adalah seseorang memiliki hutang maka dikatakan kepadanya apakah akan melunasi atau membayar lebih. Jikalau tidak mampu melunasi, ia harus menambah dana (dalam bentuk bunga pinjam) atas penambahan waktu yang diberikan.”
10.     Asy-Syaikh Abdurrahman Taj mengatakan bahwa, ribâ adalah setiap tambahan yang berlangsung pada salah satu pihak (dalam) aqad Mu’awwadhah tanpa mendapat imbalan; atau tambahan itu diperoleh karena penangguhan.


III.    Riba dalam al-Qur’an
Larangan riba yang terdapat dalam al-Qur’an tidak diturunkan sekaligus, melainkan diturunkan dalam empat tahap.[11]
Tahap pertama, menolak anggapan bahwa pinjaman riba yang pada zhahirnya seolah-olah menolong mereka yang memerlukan sebagai suatu perbuatan mendekati atau taqarrub kepada Allah swt.. Ayat ini diturunkan di Makkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai pengharaman riba. Yang ada hanyalah kebencian Allah swt.. terhadap riba, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas riba. Ayat yang menggambarkan hal tersebut adalah Q.S. al-Rum [30]: 39 sebagai berikut:
وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ ۖ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ [٣٠:٣٩].
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).

Tahap kedua, riba digambarkan sebagai suatu yang buruk. Allah swt.. mengancam memberi balasan yang keras kepada orang Yahudi yang memakan ribâ. Hal ini digambarkan dalam Q.S. al-Nisâ’ [4]: 160-161:
فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا [٤:١٦٠] وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ ۚ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا [٤:١٦١]
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (160)



dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.

            Pada tahap ketiga, Allah swt. melarang memakan riba dengan turunnya Q.S. Ali Imran [3]: 130.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [٣:١٣٠].
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda] dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan.

Ayat ini turun pada tahun ke-3 hijriyah. Secara umum ayat ini harus dipahami bahwa kriteria berlipat-ganda bukanlah merupakan syarat dari terjadinya riba (jika bunga berlipat ganda, maka riba, tetapi jika kecil bukan riba), tetapi ini merupakan sifat umum dari praktek pembungaan uang pada saat itu.
Tahap terakhir, Allah swt. dengan jelas dan tegas mengharamkan apa pun jenis tambahan yang diambil dari pinjaman. Ini adalah ayat terakhir yang diturunkan menyangkut riba.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ [٢:٢٧٨].
 فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ [٢:٢٧٩].
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.



Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.

Menurut Abdullah Saeed, ayat pertama yang menggunakan istilah riba (yaitu Q.S. al-Rum [30]: 39) diwahyuhkan pada tahun keempat atau kelima (sekitar tahun 614 M atau 615 M). Beberapa mufassir generasi awal menegaskan bahwa makna riba dalam ayat ini adalah “hadiah”. Berdasarkan penafsiran ini, Azhari (w. 370 H/ 980 M dan Ibn Manzur w. 711 H/ 1311 M) menyatakan bahwa terdapat dua jenis riba, riba yang halal dan riba yang haram. Ibnu Manzur cenderung memaknainya dengan riba yang halal. Maksud riba yang halal di sini adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan pengharapan mendapatkan sesuatu yang lebih baik di belakang hari (di akhirat)”. Penafsiran di atas menimbulkan masalah karena seluruh pemakaian istilah dalam al-Qur’an nampaknya mempunyai makna yang sama, yaitu biaya yang dipaksakan kepada seorang debitur miskin ketika tidak mampu mengembalikan pinjamannya dalam waktu yang telah ditentukan. Istilah riba dalam arti “hadiah” nampaknya tidak pernah digunakan dalam zaman pra-Islam atau pun pasca-Islam. Azhari dan Ibnu Manzur pun tidak memberikan contoh penggunaan arti kata itu. Oleh karena itu, konsep riba halal dan riba haram kemungkinan ditemukan belakangan saja karena kesulitan yang dihadapi para mufassir dalam menafsirkan Q.S. al-Rum [30]: 39. Dalam ayat ini, al-Qur’an tampak mengutuk praktek riba dan dampaknya terhadap orang-orang lemah dalam masyarakat Makkah waktu itu.[12]
Setelah peristiwa perang Uhud (3 H/ 625 M), Allah swt. secara tegas melarang riba dalam Q.S. 3:30. Berdasarkan pernyataan ini, al-Tabari (w.310 H/923 M) menjelaskan bahwa larangan memakan riba ditunjukkan setelah kebolehan mengkonsumsinya sebelum Islam dating. Bangsa Arab sebelum Islam mengkonsumsi riba yang berlaku di kalangan mereka terhadap pihak yang berhutang yang tidak mampu membayar hutangnya pada waktu jatuh tempo. Hal senada juga dikemukakan oleh  Ibn Abi Zaid bin Aslam (w. 136 H/ 754 M).[13]
Permasalahan riba yang paling akhir berkaitan dengan masa akhir diturunkannya wahyu Allah swt., yang menurut al-Tabari kira-kira turun pada tahun 8 H / 630 M. Hal ini dapat diketahui dari penafsiran Q.S. 2: 275 – 280. Menurut al-Tabari, Allah swt. melarang riba yang jumlah peningkatannya sebesar nilai modalnya yang disebabkan karena telah melampaui batas tempo peminjaman dan menunda untuk melakukan pembayaran kembali pinjamannya.[14]

IV.    Riba dalam Perspektif Pemikiran Ulama
Salah satu persoalan baru dalam fiqh muamalah adalah bunga bank yang juga sering diidentikkan dengan riba. Masalah bunga bank telah menimbulkan polemik pro dan kontra di kalangan umat Islam, khususnya di Indonesia. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia, tidak menyatakan halalnya bunga bank.[15]  Akan tetapi, terdapat kelompok orang tertentu, baik di kalangan NU dan Muhammadiyah, yang belakangan mengelola badan pemodal semacam ini, kendati tidak sejalan dengan keputusan mereka.[16]
Terdapat beberapa tokoh yang membolehkan manfaat bunga bank. Di antara tokoh tersebut adalah Mohammad  Hatta. Ia berpendapat, bunga bank untuk kepentingan produktif bukan riba, tetapi untuk kepentingan konsumtif riba. Kasman Singodimedjo dan Syafruddin Prawiranegara berpendapat, sistem perbankan modern diperbolehkan karena tidak mengandung unsur eksploitasi yang dzalim. Oleh karena itu, tidak perlu didirikan bank tanpa bunga.[17] Kemudian tokoh lainnya Hasan Bangil, seorang tokoh Persatuan Islam (PERSIS), secara tegas menyatakan bunga bank itu halal karena tidak ada unsur lipat gandanya.[18]
Walaupun terdapat beberapa ulama yang pro terhadap bunga bank, tetapi lebih banyak lagi ulama yang mengharamkan riba termasuk di dalamnya bunga bank. Di antara ulama yang mengharamkan riba tersebut adalah Muhammad Ali ash-Shabuni, dosen Fakultas Syariah dan Dirasah Islamiyah Makkah al-Mukarramah. Ia membahas permasalahan riba ini secara tuntas ketika berbicara tentang  Q.S. al-Baqarah: 275-281.[19]
Dalam bukunya tersebut Muhammad Ali ash-Shabuni menyimpulkan-setelah panjang lebar menjelaskan tentang riba-bahwa riba berbahaya buat masyarakat dan agama; riba merupakan dosa besar, bagi orang yang mengerjakannya akan disiksa di neraka; riba, baik banyak atau sedikit tetap sama; seorang muslim wajib selalu berada di atas syariat Islam yaitu menjauhi semua yang diharamkan Allah; senjata yang mampu untuk melindungi diri seorang muslim dari menyalahi syariat Allah adalah dengan bertaqwa kepada-Nya.[20]
Di akhir tulisannya tersebut Muhammad Ali ash-Shabuni menyebutkan hikmah di balik pengharaman riba dalam syariat Islam. Setidaknya terdapat tiga bahaya yang terdapat pada riba tersebut, yang pertama, riba membahayakan jiwa, karena ia dapat menumbuhkan perasaan egois atau mementingkan diri sendiri. Nilai-nilai kemanusiaan yang terdapat pada seseorang bisa hilang dan berganti dengan perasaan rakus dan tamak terhadap harta. Kedua, riba membahayakan masyarakat, karena ia dapat menumbuhkan rasa permusuhan antara anggota masyarakat, menghilangkan rasa kasih sayang, rasa persaudaraan, dan perbuatan-perbuatan baik yang terdapat pada jiwa manusia. Ketiga, riba membahayakan perekonomian. Di tinjau dari segi ekonomi, riba membagai manusia menjadi dua tingkatan. Tingkatan pertama, yaitu tingkat atas atau kelas menengah ke atas--kaum elit--yang selalu hidup penuh kenikmatan, kemewahan, dan bersenang-senang dengan keringat orang lain. Tingkatan kedua, yaitu tingkatan orang miskin atau kelas bawah--kaum alit--yang senantiasa hidup dalam penderitaan serta kekurangan.[21]
Ahmad asy-Syarbashi, dosen Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir, ketika ditanya tentang hukum menyimpang uang di bank (konvensional), secara tegas ia menghukumi haram hal tersebut dengan mendasarkan pendapatnya pada Q.S. 275, 279.[22] Hal ini berarti Ahmad asy-Syarbashi menyamakan antara riba dengan bunga bank. Padahal pada Q.S. al-Baqarah: 275, 279 tidak terdapat kata-kata bunga bank. Akan tetapi, pengharaman bunga bank oleh Ahmad asy-Syarbashi dimungkinkan karena ada kesamaan sifat antara riba dan bunga bank.
Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani yang terkenal dengan nama ash-Shan'ani (selanjutnya disebut ash-Shan'ani) dalam kitabnya Subulussalam juga menegaskan tentang haramnya riba berdasarkan beberapa hadis Rasulullah saw.. Setidaknya ada 4 buah hadis yang memuat kata riba, sedangkan hadis-hadis lainnya tidak memuat kata riba, tetapi hanya menerangkan perilaku jual beli yang dianggap sebagai perilaku riba.
Hadis pertama, "Dari Jabir r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. mengutuk  pemakan riba, wakilnya dan penulisnya, serta dua orang saksinya. Dan beliau mengatakan Mereka itu sama-sama dikutuk. Diriwayatkan oleh Muslim; Al Bukhari meriwayatkan hadits seperti dari Abu Hanifah."[23]
Hadis kedua, "Dari Abdullah bin Mas'ud r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda: Riba itu ada 73 pintu. Yang paling ringan di antaranya ialah seperti orang lelaki yang menikahi ibunya, dan seberat-beratnya riba itu merusak kehormatan seorang muslim. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan ringkas dan oleh Al Hakim selengkapnya dan beliau menilainya shahih."[24]
Ash-Shan'ani menjelaskan bahwa penyamaan riba dengan seorang laki-laki yang menikahi ibunya menunjukkan bahwa riba merupakan perbuatan yang menjijikkan.[25] Dari hadis ini dapat dipahami pula bahwa kalau menikahi ibu merupakan penyamaan riba yang paling ringan, maka bagaimanakah penyamaan riba yang paling berat? Padahal ia mempunyai 73 pintu. Hadis ini juga bisa dimaknai bahwa semua praktek riba merupakan perbuatan dosa besar. Bukankah menikahi ibu merupakan dosa besar? Sedangkan riba yang paling ringan sama dengan menikahi ibu sendiri.
Hadis ketiga, "Dari Abu Hurairah r.a. beliau berkata: Rasulullah saw. bersabda: emas dengan emas, yang sama timbangannya dan sama jenisnya, perak dengan perak yang sama timbangannya dan sama jenisnya. Barang siapa yang melebihkannya atau meminta tambah, maka itu adalah riba. Diriwayatkan oleh Muslim."[26]
Hadis  keempat, "Dari Abu Umamah r.a. dari Nabi saw. beliau bersabda: Barangsiapa yang memberi pertolongan kepada saudaranya, lalu saudaranya itu memberi hadiah kepadanya, lalu dia menerimanya maka sungguh dia sudah memasuki pintu yang besar di antara pintu riba. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud, tetapi mengenai sanadnya masih diperselisihkan."[27]
Semua ulama di atas mewakili mayoritas ulama yang menganggap riba sebagai perbuatan yang haram dalam Islam. Salah satu riba yang dimaksud adalah bunga bank yang terdapat pada bank-bank konvensional. Fatwa haramnya riba (bunga bank) ini berdampak kepada "lari"nya sebagian nasabah bank-bank konvensional kepada bank-bank syariah yang tidak memberlakukan bunga bank.[28]

V.       Kesimpulan
Dari paparan di atas disimpulkan bahwa mayoritas ulama mengharamkan riba dengan berbagai bentuknya. Dengan adanya ketegasan hukum ini berdampak kepada terbentuk dan berkembangnya bank syariah dengan pesat. Baik di Indonesia maupun di dunia internasional.
Daftar Pustaka

Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani Press, 2005

Arifin, Zainul. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: AlvaBet, 2003
Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, Beirut: dar al-Fikr, 1972

al-Kahlani, Imam Muhammad bin Ismail. Subulussalam, terj. Abubakar Muhammad. Surabaya: al-Ikhlas, 1995

Karim, M. Rusli (ed.). Berbagai Aspek Ekonomi Islam, Yogyakarta: P3EI FE UII bekerjasama dengan Tiara Wacana Yogya, 1992

Mas'adi, Ghufron Ajib. Pemikiran Fazlur Rahman tentang Metodologi Pembaharuan Hukum Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997

Munawwir, A. W., Kamus al-Munawwir  Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pondok Pesantren “al-Munawwir:, 1984

al-Mushlih, Abdullah, dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Jakarta: Darul Haq, 2004

Rahmawan A., Ivan, Kamus Istilah: Akuntansi Syariah, Yogyakarta: Pilar Media, 2005

Saeed, Abdullah, Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, Leiden: EJ Brill, 1996

asy-Syarbashi, Ahmad. Yas'alunaka: Tanya Jawab  Lengkap tentang  Agama dan Kehidupan. Jakarta: Penerbit Lentera, 1999

Zuhri, Muhammad, Riba dalam al-Qur’an dan Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, t.t.: t.p., t.th.



[1]Muhammad 'Ali ash-Shabuni, Rawaih al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Quran (tt: tp, t.th.), Jilid I, h. 421
[2]A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir  Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pondok Pesantren “al-Munawwir:, 1984), h. 504.
[3]Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of The Prohibition of Riba and its Contemporary Interpretation, (leiden: EJ Brill, 1996), h. 20. 
[4]Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani Press, 2005), h. 37. Lihat juga Ivan Rahmawan A., Kamus Istilah: Akuntansi Syariah, (Yogyakarta: Pilar Media, 2005), h. 157.
[5]Abdullah al-Mushlih dan Shalah ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Darul Haq, 2004), h. 345.
[6]Abd al-Rahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beirut: dar al-Fikr, 1972), Juz II, h. 245.
[7]Ibid.
[8] Muhammad Syafi’i Antonio, ibid., h. 41.
[9]Ibid., h. 41-42.
[10]Ibid., h. 38-41.
[11]Muhammad Syafi’i…, ibid., h. 48-50.
[12]Abdullah Saeed, ibid., h. 20-21.
[13]Ibid., h. 22.
[14]Ibid., h. 24.
[15]Dalam kongresnya tahun 1957, NU melarang perusahaan bisnis pinjam uang ke bank. Muhammadiyah dalam keputusan Majlis Tarjih-nya tahun 1968 berkesimpulan, bunga bank termasuk syubhat, berarti harus disingkirkan. Lihat Muhammad Kamal Hasan, Muslim Intellectual Responses to “New Order” Modernization in Indonesia (Kuala Lumpur: 1982), hlm. 76-9 dikutip dari Muhammad Zuhri, Riba dalam al-Qur’an dan Perbankan: Sebuah Tilikan Antisipatif, (t.t.: t.p., t.th.).
[16]Ibid.
[17]Lihat Kasman Singodimedjo, Bunga itu tidak Riba, dan Bank itu tidak Haram (Bandung: 1972), hlm. 14. Tulisan Syafruddin dapat dilihat dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988), hlm. 36-41 dikutip dari Muhammad Zuhri, ibid.
[18]Kamal Hasan, ibid., h. 30 dikutip dari Muhammad Zuhri, ibid.
[19]Muhammad 'Ali ash-Shabuni, ibid., h. 383-396.
[20]Muhammad 'Ali..., ibid., h. 394.
[21]Ibid., h. 395-396.
[22]Ahmad asy-Syarbashi, Yas'alunaka: Tanya Jawab  Lengkap tentang  Agama dan Kehidupan (Jakarta: Penerbit Lentera, 1999), h. 259-260.
[23] Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani, Subulussalam, terj. Abubakar Muhammad (Surabaya: al-Ikhlas, 1995) Jilid III, hlm. 126. Cetak tebal dari penulis untuk mempertegas.
[24]Ibid., hlm. 127. Cetak tebal dari penulis untuk mempertegas.
[25]Ibid.
[26]Ibid., hlm. 131. Cetak tebal dari penulis untuk mempertegas.
[27]Ibid., hlm.  144. Cetak tebal dari penulis untuk mempertegas.
[28]Para ekonom Muslim juga mempunyai pandangan yang sama dengan ulama-ulama di atas tentang  haramnya bunga bank. Lihat misalnya Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah (Jakarta: AlvaBet, 2003), h. 36.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar